Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 M. yang dibawa
masuk oleh pedagang-pedagang dari tanah Arab, kira-kira semasa dengan
kepemimpinan Khalifa Usman bin Affan. Namun kehadiran Islam di Nusantara pada
saat itu belum bercorak missioner Islamisasi tetapi lebih bercorak kerja sama
perdagangan antara masyarakat Nusantara dengan masyarakat Arab.
Baru pada paru abad ke-14 M, Islam masuk ke Nusantara
dengan semangat Islamisasi melalui jalur perdagangan. Beberapa peneliti
menerangkan bahwa para ulama dari tanah Champa menggunakan jalur perdagangan
masuk ke Nusantara untuk menyebar Islam. Namun perlu dicatat bahwa bukan
pedagang (kasta waisya) yang melakukan misi penyebaran Islam di Nusantara
melainkan para Ulama yang menggunakan jalur perdagangan dan menggunakan perahu
untuk masuk ke Nusantara ini.
Sebelum Islam masuk ke Nusantara, sudah banyak agama dan kepercayaan local yang dianut oleh masyarakat. Semisal agama Budha, Hindu, kepercayaan Kapitayang di tanah Jawah, kepercayaan To-lotang dan Ammatoa di tanah Bugis dan masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan local di Nusantara sudah dianut oleh masyarakat jauh sebelum Hindu dan Budha masuk agama Hindu dan Budha merupakan agama yang mampu melakukan akulturasi dengan adat-adat kepercayaan local, sehingga kedua agama yang berasal dari India tersebut mudah diterima dan dianut oleh masyarakat Nusantara. Bisa dipastikan, agama Hindu dan Budha yang ada di Nusantara ini tidak sama persis, bentuk dan corak ritual keagamaannya oleh karena telah tercampur dengan adat-adat local masyarakat.
Tidak berbeda dengan agama Hindu dan Budha, keberadaan Islam di Nusantara disambut baik oleh masyarakat karena kemampuan para ulama untuk mengakulturasikan budaya-budaya Islam masuk ke budaya-budaya kepercayaan local. Dengan kemampuan itu, Islam dengan cepat diterima oleh semua kelompok atau semua kasta di masa silam, seperti kasta Brahmana, Kesatria, waisya, Sudra dan faria.
Dapat dipastikan seandainya para ulama menyebar Islam di Nusantara ini menggunakan tangan besi atau peperangan, Islam tidak akan diterima oleh masyarakat Nusantara yang saat itu telah menganut agama Hindu, Budha dan kepercayaan local. Bahkan jika para Ulama menyebar Islam tanpa mengakulturasikan budaya maka Islam tidak akan diterima dan tidak akan menjadi agama mayoritas di Indonesia saat ini.
Salah satu kepercayaan local yang mengakar di masyarakat Nusantara, terutama di masyarakat Bugis adalah Massuro Mabbaca. Perilaku berulang-ulang yang dilakukan seseorang atau masyarakat kemudian menjadi kebiasaan, sering disebut adat kebiasaan. Massuro Mabbaca merupakan usaha yang dilakukan masyarakat bugis untuk menghadirkan tokoh agama atau tokoh adat untuk membacakan doa-doa tertentu sebagai upaya untuk menolak bala yang dianggap kapan saja bisa menyerang seperti wabah penyakit, angin buting beliung, banjir dan lain sebagainya. Ritual ini juga sering dilakukan sebagai bentuk kesyukuran atas apa yang diperoleh oleh seseorang.
Massuro Mabbaca ini tidak dilarang atukah dihilangkan oleh ulama penyebar Islam terdahulu, bahkan menganjurkan agar ritual tersebut tetap dilakukan dan dijaga, usaha mereka hanya merubah doa-doa yang sebelumnya bercorak Hindu, Budha dan berbauh kepercayaan local dengan doa yang sesuai dengan tutunan Al-quran dan Hadits. Doa-doa tolak bala, kalimat-kalimat kesyukuran, dan doa untuk orang mati persi sebelumnya dirubah dengan persi yang berbauh Islam.
Massuro Mabbaca berasal dari bahasa Bugis, yaitu kata Massuro berarti meminta atau memohon, sedangkan Mabbaca berarti membaca. Jadi Massuro Mabbaca dapat diartikan sebagai usaha seseorang untuk meminta orang lain untuk membacakan doa-doa keselamatan dan kesyukuran serta doa untuk orang yang meninggal dunia, hal ini didorong dengan kesadaran seseorang atas kurang dalamnya ilmu agama yang dimiliki dan ketaatan yang juga masih kurang. Biasanya orang yang diminta Mabbaca adalah orang yang diangap punya ilmu agama yang dalam, rajin menjalankan syariat, serta punya hubungan sosial yang baik kepada masyarakat.
Dalam ritual Mabbaca, pihak yang didoakan biasanya menyiapkan makanan-makanan yang memiliki filosofi yang luas, misalnya onde-onde, Baje, Kulapisi, Beppa pitu dan cucuru. Jenis kue ini sangat identik dengan tepung, gula merah dan kelapa yang dianggap sebagai filosofi kehidupan yang sejahtera (makanja). Juga sering dihidangkan makanan seperti nasi putih, beras kentang, lengkap dengan lauk seperti ayam, ikan, telur dan air putih. Makanan ini melekat filosofi kehidupan yang berkecukupan dan. Mapan.
Seseorang yang melakukan ritual mabbaca sampai saat ini masih sering dijumpai di tengah masyarakat Bugis, sebagai upaya untuk menolak bala dan atau sebagai bentuk kesyukuran. yang melakukan ritual ini akan memanggil tetangga-tetangganya terutama orang-orang fakir untuk menikmati hidangan bersama-sama, setelah tokoh adat/agama selesai membaca doa-doanya.
Biasaya massuro mabbaca dilakukan saat menjelang menabur benih padi, selesai panen, memulai berkebun, menjelang bulan puasa, hendak berangkat ke negeri orang, menjelang idul fitri dan saat salah seorang keluarga telah meninggal. Keluarga yang ditinggal almarhum biasanya menyiapkan hidangan setelah sholat Magrib kemudian dibacakan doa oleh alim ulama, setelah itu tetangga dipanggil untuk makan bersama. Sering juga makanan yang disajikan dibawa ke rumah tetangga untuk makan malam
Dupa atau kemenyang merupakan pelengkap yang tidak pernah hilang dalam ritual ini. Pada masa silam, selain dianggap punya aroma mistik, kemenyang disepakati sebagai pengharum untuk melakukan ritual-ritual, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat kebudayaan. Sehingga tidak lengkap rasanya jika melakukan ritual massuro mabbaca tanpa ada asap dan wangi kemenyang menyelimuti ruang tamu .
Dapat disimpulkan bahwa, subtansi dari massuro mabbaca yang menjadi adat masyarakat Bugis sampai saat ini ada empat macam, yaitu membaca doa tolak bala, bentuk kesyukuran, mendoakan orang mati yang dilakukan oleh alim ulama dan memberikan sedekah makan pada tetangga terutama fakir miskin.
Sedangkan kemenyang yang menjadi pelengkap dalam ritual ini merupakan wewangian yang mencirikan ritual mabbaca yang dilakukan, sehingga tetangga yang mencium wangi kemenyang tersebut bisa tahu dan ikut bersantap bersama menikmati makanan-makanan yang amat luas dan dalam.
Maros, 24 Januari 2015
SAFARUDDIN
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar