Dua pesawat Rusia mendarat
di Bandara Halim Perdanakusuma, pada Sabtu, 3 Januari 2015. Kementerian Darurat
Negeri Beruang Merah itu sengaja mengirimkan dua pesawat untuk membantu
Indonesia mengevakuasi jasad dan bangkai AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan
Selat Karimata pada Minggu, 28 Desember 2014.
Menurut perwakilan
Kementerian Darurat Rusia, Alexander Drobyshevsky, pemerintahnya mengirimkan
jet amfibi Beriev (BE)-200 dan Illyushin. Namun, yang digunakan untuk proses
evakuasi hanya pesawat amfibi. Selain pesawat, Rusia juga mengirimkan 22
penyelam tangguh, 24 tim penyelamat, satu dokter, dan dua asisten medis.
Menurut Kepala Badan SAR Nasional, Marsekal Madya FHB Soelistyo di kantornya, jet tempur milik Rusia bisa diandalkan untuk menemukan bangkai pesawat tipe Airbus A320-200 itu. Kehadiran BE-200 sudah mencuri perhatian publik sejak awal. Sebab, pesawat tetap bisa mendarat di laut kendati gelombang setinggi 1,5 meter menghalangi proses pencarian.
Rusia menjadi negara ke-10 yang
ikut serta dalam misi kemanusiaan evakuasi AirAsia tujuan Surabaya ke
Singapura. Bahkan, mereka tidak mempermasalahkan, walau seteru abadinya,
Amerika Serikat, sudah lebih dulu ikut upaya pencarian itu.
Selain AS, beberapa negara
sudah resmi bergabung. Mereka antara lain Singapura, Malaysia, Australia,
Selandia Baru, Korea Selatan, Prancis, Jepang, Inggris, Uni Emirat Arab, dan
terbaru Tiongkok. Berdasarkan informasi yang diterima VIVAnews Selasa, 6
Januari 2015 dari Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta, Negeri Tirai Bambu
mengirimkan satu kapal dan tiga ahli di bidang penerbangan.
"Pagi ini (Selasa) tiga
ahli sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta dan seharusnya kini telah menjejakkan
kaki di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah," ungkap pejabat Kedubes Tiongkok
melalui telepon.
Sementara itu, kapal yang
dikirim bernama "Nan Hai Jiu 101" telah berangkat pada 5 Januari 2015
dan dijadwalkan tiba di perairan Indonesia empat hari kemudian. Total, terdapat
12 negara yang ikut serta membantu Indonesia dalam tim SAR multinasional ini.
Walaupun yang mengirimkan alutsista sembilan negara.
Sisanya membantu dengan
mengirimkan tim Disaster Identification Victim (DVI) yang berfungsi mengenali
jenazah dan tim untuk menyelidiki isi pembicaraan di kotak hitam. Inggris dan
Prancis, termasuk negara yang secara khusus mendatangkan ahli untuk membantu
anggota Komisi Nasional dan Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam menyelidiki
isi rekaman di kotak hitam.
Juru bicara Kementerian Luar
Negeri, Arrmanatha Christiawan Nasir, mengatakan, sembilan negara di antaranya
telah diberikan izin melintas oleh Pemerintah RI. Untuk itu, mereka legal
beroperasi di Indonesia.
Maka, sejak satu pekan
terakhir, wilayah perairan sepanjang Laut Jawa hingga ke Selat Karimata
tiba-tiba penuh dengan kapal-kapal asing. Begitu pula dengan wilayah udara.
Pihak asing seolah berlomba-lomba membantu Indonesia untuk mengevakuasi jasad
dan bangkai pesawat AirAsia QZ8501.
Padahal, sebelumnya,
Basarnas secara terbuka hanya meminta bantuan kepada tiga negara yakni Amerika
Serikat, Inggris, dan Prancis.
Soal banyaknya bantuan asing
yang datang menghampiri Indonesia, Bambang mencoba menyikapi secara bijak.
"Semua yang hadir di
daerah operasi itu awal mulanya adalah keinginan mereka untuk membantu
kita," ungkap Bambang di kantornya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa.
Sementara itu, Deputi Bidang
Operasi Basarnas, Mayor Jenderal Tatang Zaenudin, menyebut, semua bantuan kapal
dan pesawat asing itu dikendalikan langsung oleh institusinya.
"Saya harus
mengendalikan pesawat-pesawat dari negara asing," ungkap Tatang.
Karena kewajibannya itulah,
dia mengaku tidak bisa berlama-lama menyampaikan keterangan pers. Dia
mengatakan, Basarnas terus berpacu dengan waktu.
"Ini permasalahannya
berhitung dengan waktu. Pesawat hitungannya detik, kapal hitungannya jam,"
kata dia.
Motif Tersembunyi
Namun, apakah bantuan asing
itu benar-benar diberikan kepada Indonesia atas dasar solidaritas? Di mata
pengajar program studi Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku
Rezasyah, negara asing tidak sepenuhnya bertujuan membantu Indonesia. Pria yang
akrab disapa Reza berpendapat, di balik rasa solidaritas itu, ada motif tersembunyi.
"Tentu hidup dalam era
globalisasi seperti sekarang, semua negara harus bermitra satu sama lain.
Tetapi, jujur lautan Indonesia merupakan lokasi yang strategis. Bisa jadi,
melalui misi ini mereka ingin pamer kekuatan atau ingin mengeksplorasi laut
kita," papar Reza yang dihubungi VIVAnews pada Selasa, 6 Januari 2015.
Dia menambahkan, melalui
misi ini, masing-masing negara seolah-olah ingin menunjukkan alutsista terbaik
milik mereka. Dengan begitu, maka secara tidak langsung bisa membuat otoritas
pertahanan di Indonesia ngiler dan akhirnya membeli alutsista tersebut.
Analisis Reza itu seolah
menjadi kenyataan ketika Panglima TNI, Jenderal Moeldoko melontarkan pujiannya
terhadap kemampuan alutsista milik Negeri Paman Sam. Hari ini, Moeldoko berkesempatan
menjajal helikopter Seahawk untuk memantau proses evakuasi korban dan pesawat
AirAsia di Landasan Udara Iskandar, Pangkalan Bun, Kalteng. Moeldoko juga tidak
bisa menyembunyikan kekagumannya ketika berkunjung ke atas kapal militer
penghancur, USS Sampson.
"Kita ngiler lihat
alutsista mereka. Ada heli flipper. Luar biasa untuk alutsista kita, terutama
TNI AL," ujar Moeldoko.
Bahkan, dia tidak segan
mengungkapkan ketertarikannya untuk melengkapi kekuatan AL Indonesia dengan
helikopter tersebut.
Pesawat Rusia, BE-200,
kabarnya juga tengah dilirik oleh Pemerintah Indonesia. Sebab, dapat membantu
untuk mengamankan kedaulatan NKRI dari aksi pencurian ikan.
Sementara itu, motif
eksplorasi laut, ungkap Reza, diwujudkan dengan melakukan pemetaan bawah air
atau hidrografis. Hal tersebut, menurut analisis Reza, bisa dilakukan ketika AL
asing menurunkan perangkat-perangkat di laut dangkal milik Indonesia.
"Data-data seperti
pergeseran arus laut sangat bermanfaat bagi penyelaman AL mereka, misalnya jika
mereka ingin mengerahkan kapal selam. Belum lagi di wilayah perairan lokasi
jatuhnya pesawat terdapat tiga arus air yakni atas, bawah dan tengah. Hal itu
jarang ditemui di tempat lain," ujar Reza.
Pihak asing juga bisa
mempelajari latihan penyelaman, pengerahan kapal dan koordinasi antara Basarnas
dengan pihak lain di Indonesia, termasuk TNI. Reza menyimpulkan, misi tersebut
layaknya laboratorium bagi pihak asing, karena momentum semacam ini tidak
selalu terjadi.
Menurut pria yang juga kakak
Duta Besar RI untuk Kanada itu, idealnya dalam proses evakuasi, Basarnas
bekerja sendiri dan tidak didampingi pihak asing. Reza berpendapat, kemampuan
Basarnas sudah diakui dunia, bahkan sejak awal pesawat dinyatakan hilang
kontak, mereka sudah mengetahui titik lokasinya.
"Aspek asing bisa
membantu dan dinilai lebih netral dalam proses identifikasi jenazah
penumpang," ujarnya.
Bantuan dari negara asing,
kata Reza, bisa ditolak tanpa merusak hubungan bilateral kedua negara. Asal,
dilakukan sejak awal dan pemimpin nasional bertindak tegas.
"Kita bisa memberikan
laporan perkembangan dan rencana aksi hingga satu bulan kepada pihak asing.
Lalu, tunjukkan bagaimana sirkulasi kapal dan pesawat beroperasi setiap hari.
Jika ada informasi itu, mereka akan mengerti," kata Reza.
Siagakan Intel
Namun, Basarnas sudah kadung
membuka tangan lebar dan menerima bantuan asing. Lalu, bagaimana cara mencegah
pihak asing mengambil keuntungan dari misi ini? Dalam wawancara dengan tvOne
pada Minggu lalu, Pangkoops Angkatan Udara, Marsekal Muda, Agus Dwi Putranto,
menyebut TNI turut mengawasi seluruh armada asing yang ikut dalam operasi
AirAsia.
Bahkan, Agus menyebut TNI
turut mengerahkan intelijen untuk mengawasi semua pergerakan kapal, helikopter
dan pesawat negara asing di lokasi pencarian AirAsia.
"Mereka hanya
diperbolehkan beraktivitas di area yang telah ditentukan," tegasnya.
Namun, Reza meragukan
kemampuan yang digunakan oleh intelijen TNI. Sebab, rata-rata alutsista yang
digunakan oleh asing sudah melampaui alutsista yang digunakan oleh Indonesia.
"Apakah mereka bisa
mengetahui misalnya ketika ada operasi diam yang dilakukan oleh pihak asing
yang tengah memasang radar bawah laut dan tidak terdeteksi oleh sonar. Apakah
intelijen TNI sanggup untuk mengendalikan mereka?," tanya Reza.
Oleh sebab itu, dia
menyarankan setelah misi evakuasi AirAsia selesai, pemerintah perlu berbenah
untuk membangun kemandirian intelijen.
"Naikkan anggaran Badan
Intelijan Negara dan berdayakan institusi tersebut lewat teknologi asli
Indonesia," kata Reza memberi saran.
Kinerja Hebat
Selain rentan disusupi
kepentingan asing, menurut Reza, melalui operasi evakuasi AirAsia ini, kinerja
Basarnas turut diapreasiasi oleh dunia. Bahkan, Direktur Operasi Armada Ketujuh
AL AS, Kapten Laut (Kolonel) Christopher Budde, mengacungi jempol bagi Basarnas.
"Pemerintah dan
Basarnas Indonesia secara luar biasa dan sangat cepat mengorganisasi upaya
pencarian pesawat itu, yang melibatkan sejumlah negara," kata Budde yang
diwawancarai VIVAnews secara khusus melalui telepon.
Selain itu, melalui tragedi ini
membuktikan bahwa Bangsa Indonesia bisa bersatu ketika dicoba dengan musibah.
Momen serupa terlihat ketika Indonesia dilanda tsunami tahun 2004 dan Bom Bali
I serta II.
"Negara bisa mengelola
semangat kekeluargaan ini untuk hal-hal lain, misalnya dalam aksi pemberantasan
narkoba atau revolusi mental. Sebab, mahal sekali biaya yang dikeluarkan untuk
menggerakkan emosi masyarakat," kata dia.
Seandainya, emosi tersebut
bisa dikelola, maka Indonesia ujar Reza, bisa menjadi negara yang maju. (art)
diposting di link viva.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar