Beberapa bulan yang
lalu, penulis berbincang bersama salah satu karyawan swasta di Maros tentang
perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam. Perbincangan itu kami
buka dengan membahas muktamar dua organisasi Islam besar di Indonesia yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Diskusi ringan itu berjalan santai tapi
mengerucut pada peran penting kedua organisasi yang dibentuk jauh sebelum
Indonesia diproklamasikan.
“Perbedaan di
Indonesia tidak akan pernah ada habisnya selama masih ada organisasi-organisasi
seperti NU & Muhammadiyah.”
Katanya keceplos sambil tersenyum dan
sekali-kali melirik ke computer. Penulis tahu, pasti lawan bicaranya ini
membuka link terkait organisasi besar itu.
Karena penulis merasa
kalau orang yang diajak bicara itu tidak memiliki wawasan keislaman dan
kebangsaan yang cukup untuk berdiskusi tentang peran dan pengaruh
organisasi-organisasi Islam, terutama NU & Muhammadiyah dalam membangun
bangsa, penulis hanya tersenyum dan pamit untuk kembali ke ruang kerja.
Dua bulan kemudian
penulis berdiskusi ringan bersama dua rekan kerja sekantor saat masuk waktu
istirahat. Sudah menjadi budaya tersendiri dalam ruangan itu, berdiskusi banyak
hal, tentang semua aspek kehidupan.
Kali ini, diskusinya menyinggung
tentang penetapan hari Idul Adha yang kerap berbeda antara pemerintah dengan
salah satu organisasi Islam. Berbeda dengan NU
yang selalu sama dalam penetapan
hari besar Islam seperti puasa dan lebaran, Muhammadiyah justru selalu berbeda
dalam penentuan hari besar.
“Perbedaan-perbedaan
seperti itu sebenarnya tidak perlu ada, cukup pemerintah yang menentukan dan
Muhammadiyah harus ikut pada penetapan pemerintah. Kalau perlu tidak usah ada
NU dan Muhammadiyah, cukup pemerintah yang menentukan seperti Negara Islam lain.”
Katanya panjang
lebar, sambil menatap penulis. Entah berharap penulis menanggapi atau memberikan penekanan pada penulis yang nota bene-nya salah satu patik salah
satu organisasi Islam tersebut.
Opini dalam pikiran
penulis sudah mengendap-endap ingin terhambur keluar melalu bahasa retorik yang
dimiliki, tapi semakin mengendap, penulis semakin menahan diri. Baginya,
diskusi seperti itu sudah usam dan sudah sering menjadi tema dalam diskusi
kecil di ruangan sempit itu, pada akhirnya kita akan menerima setiap perbedaan
yang ada dalam tubuh Islam bahkan kesimpulan setiap diskusi itu selalu menjadi
terjemahan toleransi yang sudah sejak dulu diajarkan kanjeng nabi.
Dua pendapat yang
dikeluarkan oleh rekan kerja penulis membuat penulis bertanya-tanya dalam hati
tentang eksistensi kedua organisasi yang berusia lebih setengah abad itu. Semakin
mencoba membenarkan perkataan mereka semakin dia tidak menemukan alasan yang
tepat untuk membenarkannya. Justru dirinya hanya menemukan peran-peran penting
NU dan Muhammadiyah dalam membangun bangsa dan menjaga Islam.
Tapi penulis
mengucapkan terimakasih di dalam hati, berkat perkataan itu, dirinya kembali
membuka lembaran-lembaran sejarah tentang peran aktif kedua organisasi itu. Lalu
dia kembali ke meja kerja, hari ini merupakan hari yang santai, data penggajian
untuk periode bulan 09 2015 sudah dia stor ke bendahara perusahaan dan waktu
luang itu dia gunakan untuk menulis dalam rangka “membantah” perkataan rekan
kerjanya yang kekanak-kanakan itu.
PERBEDAAN
Kemanapun seseorang
melangkahkan kakinya, di sanalah ia akan menemukan perbedaan. Sebab awal
kehidupan manusia di bumi ini pun berasal dari perbedaan antara Iblis dan
Manusia. Itu secara makro. Secara mikro, perbedaan antara laki-laki dan
perempuan merupakan syarat keberlanjutan hidup manusia di muka bumi ini.
Perbedaan yang
terjadi dalam kehidupan ini sudah menjadi sunnatullah atau secara ilmia disebut
hukum alam, bahkan perbedaan merupakan sebab utama terjalinnya kehidupan social
antara manusia. Bisa dibayangkan, bagaimana kiranya jika semua manusia memiliki
cara pandang yang sama, memiliki rasa yang sama, memiliki keutamaan yang sama – betapa kelabunya kehidupan ini, bahkan mungkin
kita enggan menjalaninya.
Perbedaan dalam kehidupan social akan membentuk strata social yang
membuat kehidupan berjalan seimbang. Ada yang kaya dan ada yang miskin, ada
penguasa dan ada rakyat biasa, ada penjual dan ada pembeli, ada tukan jahit dan
ada tukan kayu, ada petani dan ada penambak dll. Bisa dibayangkan betapa
kehidupan ini akan kusuk jika semua umat manusia kaya raya misalnya, siapa yang
mau bekerja dan mempekerjakan. Bayangkan kalau semua orang pintar, siapa yang
berguru dan siapa gurunya.
Ini dalam konteks kehidupan social, bagaimana dengan kehidupan
beragama?. Tuhan bisa saja menurunkan satu agama, yaitu ISLAM. Tuhan punya
kuasa untuk itu, apa yang susah bagi Yang Maha Kuasa, semuanya bisa. Tapi tuhan
tidak melakukannya, kenapa?. Sebab Ia tahu, kalau perbedaan agama merupakan rahmat
dan juga menjadi syarat kehidupan berbangsa-bangsa di dunia ini. Nah, kalau ada
kelompok mengatas namakan ISLAM dan menyerang umat Non-ISLAM yang tidak
mengganggu, berarti mereka masih amatir dalam memaknai ISLAM – bahkan
amatir menjalani kehidupan ini.
Kemudian dalam tubuh
ISLAM sendiri terdapat perbedaan sana sini, itu sah-sah saja. Bagaimana mungkin
kita semua bisa sama sedangkan kanjeng Nabi sudah tidak ada bersama – di zaman
nabi juga belum ada teknologi yang bisa merekam setiap perkataan dan perilaku
nabi apalagi mendokumentasikan semua pengertian-pengertian nabi tentang ayat
Alquran. Sebagai umat yang hidup jauh setelah beliau wafat, kita hanya punya
satu jalan untuk mengikutinya yaitu, mengikuti ajaran para sahabat dan
ulama-ulama yang terpercaya.
Para sahabat dan
Ulama adalah manusia biasa. Bukan Nabi. Sebagai manusia biasa tentu perbedaan
pemahaman tentang ajaran yang diwariskan Nabi juga berbeda, sehingga perbedaan
itu akan mengantar kita pada peraktek ibadah yang berbeda pula.
PERBEDAAN
MUHAMMADIYAH DAN NU
Penulis sengaja
menulis Muhammadiyah lebih dulu dalam sub pembahasan ini karena organisasi
Islam ini lebih dahulu terbentuk daripada NU. Pertama-tama kita harus tahu
kenapa Muhammadiyah dan NU lahir di atas pundak ibu pertiwi ini.
Muhammadiyah didirikan oleh seorang putra pribumi bernama Darwis atau
dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan, beliau belajar di negeri padang pasir
selama bertahun-tahun. Setelah memperoleh pengetahuan agama yang dalam, beliau
kembali ke Nusantara (belum dikenal nama Indonesia saat itu, dan sampai ke
tanah kelahirannya, beliau mengajarkan ketahuidan yang yang bersih dari
kesyirikan. Tahun 1912 beliau membentuk organisasi Muhammadiyah sebagai
organisasi pendidikan yang menggabungkan nilai kepesantrenan dengan pendidikan
Barat yang kala itu sudah masuk ke Nusantara.
NU sendiri dibentuk pada tahun 1926, meskipun pembentukannya beda
belasan tahun setelah Muhammadiyah, budaya organisasi yang dibentuk oleh
KH.Hasyim Asyari ini sudah ada jauh sebelum Muhammadiyah dibentuk. Beliau merupakan
pribumi yang memiliki ilmu agama yang dalam dan punya karismatik yang membuat
beliau sangat disegani di semua kalangan.
Kita semua bisa melihat letak perbedaan antara NU dan Muhammadiyah,
perbedaan keduanya bukan pada rana Aqidah, misalnya NU mengakui keesaan Allah
Muhammadiyah juga demikian, NU mengakui Muhammad adalah nabi terakhir Muhammadiyah
pun begitu, NU solat Muhammadiyah juga solat, NU Tarweh Muhammadiyah juga Tarweh,
lantas apa lagi yang mau dipersoalkan. Perbedaan hanya pada wilayah syari’
misalnya NU Qunut dan Muhammadiyah tidak, NU melaksanakan solat Tarweh 20
Rakaat dan Muhammadiyah hanya 8 rakaat, NU membudayakan pake sarung saat solat dan
Muhammadiyah tidak.
Terakhir, perbedaan dalam menetapkan pelaksanaan hari besar dan mulia
seperti bulan Ramadhan dan Idul Fitri/Adha. Perbedaan keduanya wajar-wajar
saja, bagaimana tidak, alat yang digunakan keduanya juga berbeda. NU
menggunakan metode Rukya dan Muhammadiyah menggunakan metode Hisab, kedua alat
itu sama-sama benar. Alatnya berbeda, hasilnya juga tentu berpotensi besar
untuk berbeda.
Perbedaan itu memang harus ada, sebab perbedaan antara keduanya akan
mendorong jamaah masing-masing untuk banyak belajar tentang ilmu agama dan yang
terpenting belajar dalam menjalani kehidupan secara bijak dan dewasa.
PERAN PENTING MUHAMMADIYAH DAN NU
Sampai saat ini belum ada satu tokoh pun yang berani membantah
keterlibatan Muhammadiyah dalam membangun bangsa ini. Jauh sebelum Indonesia
lahir, keduanya sudah berkontribusi banyak kepada Nusantara ini. Sejak tahun
1912, Muhammadiyah sudah berkomitmen untuk memberikan pencerahan pada masyarakat
pribumi baik di sisih agama maupun pendidikan. Bahkan bisa jadi, tanpa
Muhammadiyah, pendidikan Barat tidak akan bisa berbaur dengan budaya
kepesantrenan di Nusantara. Lebih ekstrim jika mau jujur, bukan Kihajar
Dewantara yang berhak memperoleh predikat sebagai bapak pendidikan melainkan
KH. Ahmad Dahlan.
Dalam perjalannya yang panjang, Muhammadiyah mencetak tokoh agama,
tokoh pendidikan dan tokoh politik yang tidak sedikit. Ada Amin Rais, Din
Syamsuddin dan masih banyak lagi. Selanjutnya tokoh-tokoh yang lahir dari rahim
Muhammadiyah tersebut banyak berkontribusi dalam mempertahankan berdirinya NKRI
ini.
Begitupun dengan NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia ini ikut
andil dalam menyusun PANCASILA yang menjadi rujukan hukum di Indonesia, NU
melahirkan pahlawan seperti KH. Wahab Hasbiullah, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul
Rahman Wahid dan masih banyak lagi. bagi organisasi yang pernah dipimpin oleh mantan
presiden Indonesia ini, budaya lokal yang baik-baik, harga mati untuk
dipertahankan dan Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam semesta. Tentu kita
tidak bisa melawang ingatan saat NU pasang badan untuk melawan kedatangan
kembali sekutu ke Indonesia 10 November 1945, seandainya bukan semangat Jihad
Fisabilillah yang diprakarsai oleh NU, dapat dipastikan Indonesia tinggal kepingan-kepingan
sejarah.
Sampai saat ini, kedua lembaga Islam ini masih terus berkontribusi
dalam membangun bangsa. Hampir di semua daerah terdapat lembaga pendidikan
Muhammadiyah, mulai tingkat SD, SMP, sampai SMA, bahkan perguruan tinggi
Muhammadiyah sudah tersebar di seluruh Indonesia. Begitupun dengan NU, di semua
daerah NU memiliki lembaga pendidikan yang banyak melahirkan pemuda (i) yang
kenyang dengan ilmu agama. Itu baru lembaga pendidikan, belum lagi
lembaga-lembaga lain dari kedua organisasi itu yang hadir dalam rangka
berkontribusi untuk bangsa dan agama.
Lalu bagaimana kita dengan percaya diri berkata bubarkan saja NU dan
Muhammadiyah untuk menghilangkan perbedaan. Tidak boleh tidak, jika NKRI ini
tidak ingin menjadi kepingan sejarah dan ISLAM sebagai landasan berfikir bagi
masyarakatnya, NU dan MUhammadiyah harus tetap ada dan berkontribusi pada
bangsa dan Negara.
Maros, 23 09 2015
SAFARUDDIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar