Pengasuh Pesantren Nahdlatut Tholibin KH Abdul Hadi mengisahkan sebuah gubug dari daun tebu dan anyaman bambu berusia 20 tahun di pesantrennya. Meski kini di sebelahnya berdiri kokoh bangunan kamar-kamar santri, gubug itu tetap dibiarkan ada.
Kisah gubug di pesantren terletak di Desa Sumendi Kecamatan Tongas Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur itu berkaitan dengan kiai yang tidak mau menerima santri, KH Abdul Hadi sendiri.
Karena menolak santri, orang yang diseganinya yaitu KH M Toha, Pengasuh Pesantren Nahdlatut Tholibin Desa Blado Kulon Kecamatan Banyuanyar memarahinya. Itu terjadi pada tahun 1994.
Karena itu, kiai yang kini Ketua PCNU Probolinggo tersebut, akhirnya mau menerima santri. Pesantren yang didirikannya disamkan dengan nama pesantren sang guru, Nahdlatut Tholibin. Ia memang pernah nyantri di pesantren tersebut selama 9 (sembilan) tahun.
Pada saat menempuh pendidikan di pesantren salaf itu, kepandaiannya berdakwah muncul. Ia kerap kali menjuarai lomba pidato baik yang diselenggarakan pesantren atau pemerintah. Puncaknya ia menjadi juara pertama dalam pekan madaris cabang lomba pidato tingkat Provinsi Jawa Timur tahun 1985 (saat ini MTQ).
Selepas mondok, pada tahun 1989 ia kemudian mempersunting Hj Fadiah Rowi. Sebagai alumnus pesantren, dia ditunjuk masyarakat untuk memimpin pengajian rutin. Dari pengajian rutin itu, ia kemudian berdakwah.
Kepandaiannya berdakwah tidak hanya di desanya saja. Sejak tahun 1990 ia kerap diundang ke berbagai daerah untuk berceramah. “Saya pun merasa ada keajaiban. Sebagai orang yang tidak punya sejarah atau keturunan kiai besar, saya di minta masyarakat berdakwah,” ucapnya, Jum’at (2/1).
Selang 4 tahun atau pada tahun 1994, Kiai Abdul Hadi diminta untuk mendirikan pesantren oleh masyarakat yang biasa mengundangnya pada acara pengajian. Namun, karena ia merasa tidak mampu mengemban amanah besar itu, permintaan itu ditolak.
“Saya semula menolak. Sebab bagi saya pengasuh pesantren itu harus mampu mengenalkan santri kepada Allah. Padahal saya sendiri waktu itu masih dalam tahap mencari jati diri sebagai seorang umat muslim,” katanya merendah.
Penolakan Kiai Abdul Hadi itu kemudian didengar Pengasuh Pesantren Nahdlatut Tholibin Desa Blado Kulon Kecamatan Banyuanyar. Pada tahun yang sama itu, Abdul Hadi kemudian dipanggil Kiai M. Toha. Pada saat itu, Kiai Abdul Hadi dimarahi karena tidak bersedia menerima santri.
“Jika memang mau berkhidmat pada pesantren harus dilakukan secara total dan jangan setengah-setengah. Sebagai alumni pesantren, maka harus menerima amanah warga,” ucapnya menirukan perkataan Kiai M. Toha.
Saat itu pun, ia minta doa restu kepada Kiai M Toha dan bersedia menerima santri dan mendirikan pesantren. Dengan persyaratan, pesantren yang didirikannya itu merupakan amanah Kiai M. Toha.
“Saya hanya santri juga. Makanya pesantren ini merupakan bagian dari Pesantren Nahdlatut Tholibin di Desa Blado Kulon Kecamatan Banyuanyar,” terangnya.
Sejak saat itu, satu per satu para santri berdatangan untuk menimba ilmu di pesantren yang didirikannya. Bermula dari sebuah kamar terbuat dari bambu dengan atap daun tebu, pesantren ini berkembang dengan pesat. “Hingga saat ini kamar kuno itu kami pelihara. Untuk mengenang awal pendirian,” jelasnya.
Karena pesantren induknya merupakan pendidikan salaf, maka pesantren yang saat ini dipimpinnya itu juga berhaluan salafiah. “Semua pendidikan masih salaf. Kami belum berpikir untuk pendidikan formal. Nanti saat masa anak saya saja,” katanya.
Menurut Kiai Abdul Hadi, saat ini kebanyakan pesantren menerapkan pembelajaran pendidikan salaf. Maka pesantrennyapun kini berkurikulum salaf. Setiap hari, santri sekolah di madrasah diniyah pada sore hari. Di malam hari dan pagi hari, kegiatannya mengaji kitab kuning dan musyawarah serta Bathsul Masail.
“Seperti pesantren salaf pada umumnya. Mengaji kitab kuning dan madrasah diniyah,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar