Selasa, 03 Maret 2015

HILANGNYA BUDAYA “MANNAMPU ASE LOLO” DI DESA TUKAMASEA-MAROS

Salah satu warisan sejarah kepada masyarakat adalah budaya, kebudayaan sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dapat disimpulkan budaya merupakan segalah sesuatu yang lahir dari individu atau masyarakat berupa rasa, nilai dan kepercayaan.

 Setiap perbuatan atau perilaku yang dilakukan masyarakat secara terus-menerus dan diwariskan dari genersi kegenerasi secara umum didevinisikan sebagai budaya masyarakat. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia terhitung bangsa yang memiliki ratusan jenis budaya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di wilayah Indonesia Timur suku Bugis.

Salah satu jenis budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat Bugis utamanya di salah satu desa di kecamatan Bantimurung yaitu desa Tukamasea adalah budaya mannampu ase lolo (tumbuk padi muda), budaya dan sekaligus ritual kesyukuran ini dilakukan masyarakat Bugis saat selesai panen padi sebagai bentuk kesyukuran masyarakat kepada sang pencipta. Ritual ini biasanya dilakukan oleh setiap kampung dalam waktu yang berbeda-beda

Mula-mula pemangku adat mengumpulkan para petani untuk membicarakan waktu dan tempat pelaksanaan ritual kesyukuran yang sudah turun temurun tersebut. Selanjutnya pemangku adat meminta seluruh warga kampung yang hadir untuk menyampaikan waktu dan tempat pelaksanaan kepada warga kampung tetangga.

Mannampu ase lolo dilakukan oleh orang yang punya kemampuan memainkan alu bersama Assung dengan nada yang indah. Biasanya ritual ini dilakukan sebanyak empat pinati dengan memainkan irama yang indah dari bunyi alu dan Assung. Selain memainkan alu, penyelenggara  biasanya menyiapkan hidangan makanan berupa beppa pitu, onde-onde, bajek dan benno ase sebagai lambang kesejahteraan dan reski yang berlapis bagi masyarakat.

Selain seremoni di atas, pinati juga sering memainkan ilmu beladiri local yang sering disebut tangkap silat dan pencak silat. Para penonton yang berasal dari dalam dan luar kampung menikmati irama alu, menikmati hidangan dan juga menikmati permainan tangkap silat dan pencak silat dengan bersuka cita

Namun ritual tersebut tinggal menjadi cerita masa lalu, seiring berkembangnya zaman, modernisasi yang mempengaruh sampa pola hidup dan perilaku masyarakat, perayaan panen padi tersebut sudah tidak dilakukan oleh masyarakat desa Tukamasea. Budaya yang diwariskan nenek moyang itu telah tergusur dengan budaya-budaya baru. Selesai panen padi, masyarakat desa lebih senang keluar kota menghabiskan uang di pasar malam atau keluar ke pantai.

Spirit kesyukuran yang sifatnya simbolis seperti di atas sudah tidak bisa kita jumpai di tengah masyarakat Tukamasea. Tentu saja setiap budaya yang hilang akan tergantikan dengan budaya yang baru, tidak ada budaya yang hilang tanpa adanya anti tesis budaya yang baru menggantikannya. Sehingga kondisi tersebut di atas akan menuntun kita untuk berfikir kritis atas pola kehidupan suatu masyarakat.

“budaya modern apakah yang menggantikan budaya atau ritual mannampu ase lolo di desa Tukamasea?”. Pertanyaan ini  akan memperkaya khasana berfikir kita sekaligus memberikan kesadaran betapa cepat perubahan struktur di masyarakat tanpa diimbangi dengan perubahan kultur. Perubahan struktur yang saya maksud adalah perubahan organisasi dan gaya hidup, sedangkan perubahan kultur adalah perubahan cara berfikir, bersikap dan menilai spirit dari tata nilai yang melekat dalam masyarakat.

Mannampu ase lolo merupakan ritual yang bernilai spirit dan punya nilai ibadah yang sangat besar. Mengundang masyarakat berkumpul sebagai ajang silaturahim, menghidangkan makanan yang punya filsafat baik dan menghibur masyarakat yang baru saja kelelahan panen padi serta mempertahankan ilmu bela diri local merupakan usaha yang punya spirit dan nilai ibadah di mata agama.

Mudah-mudahan ritual tersebut bisa kembali dihidupkan masyarakat, jika tidak bisa dilakukan oleh pemangku adat atau pinati, maka pemuda desa menjadi kelompok alternative untuk mempertahankan ritual yang menjadi warisan sejarah bahkan warisan nenek moyang kita.

 

Maros, 04 Maret 2015

 

SAFARUDDIN

Tidak ada komentar: