HILANGNYA BUDAYA “MANNAMPU ASE LOLO” DI DESA TUKAMASEA-MAROS
Salah satu warisan sejarah kepada masyarakat adalah
budaya, kebudayaan sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dapat disimpulkan
budaya merupakan segalah sesuatu yang lahir dari individu atau masyarakat
berupa rasa, nilai dan kepercayaan.
Setiap perbuatan atau perilaku yang dilakukan
masyarakat secara terus-menerus dan diwariskan dari genersi kegenerasi secara
umum didevinisikan sebagai budaya masyarakat. Sebagai bangsa yang besar,
Indonesia terhitung bangsa yang memiliki ratusan jenis budaya tersebar di
seluruh wilayah Indonesia, termasuk di wilayah Indonesia Timur suku Bugis.
Salah satu jenis budaya yang sudah mengakar dalam
masyarakat Bugis utamanya di salah satu desa di kecamatan Bantimurung yaitu desa
Tukamasea adalah budaya mannampu ase lolo
(tumbuk padi muda), budaya dan sekaligus ritual kesyukuran ini dilakukan
masyarakat Bugis saat selesai panen padi sebagai bentuk kesyukuran masyarakat
kepada sang pencipta. Ritual ini biasanya dilakukan oleh setiap kampung dalam
waktu yang berbeda-beda
Mula-mula pemangku adat mengumpulkan para petani untuk
membicarakan waktu dan tempat pelaksanaan ritual kesyukuran yang sudah turun
temurun tersebut. Selanjutnya pemangku adat meminta seluruh warga kampung yang
hadir untuk menyampaikan waktu dan tempat pelaksanaan kepada warga kampung tetangga.
Mannampu ase lolo dilakukan oleh orang
yang punya kemampuan memainkan alu bersama Assung dengan nada yang indah. Biasanya
ritual ini dilakukan sebanyak empat pinati dengan memainkan irama yang indah
dari bunyi alu dan Assung. Selain memainkan alu, penyelenggara biasanya menyiapkan hidangan makanan berupa beppa pitu, onde-onde, bajek dan benno ase
sebagai lambang kesejahteraan dan reski yang berlapis bagi masyarakat.
Selain seremoni di atas, pinati juga sering memainkan
ilmu beladiri local yang sering disebut tangkap silat dan pencak silat. Para penonton
yang berasal dari dalam dan luar kampung menikmati irama alu, menikmati
hidangan dan juga menikmati permainan tangkap silat dan pencak silat dengan
bersuka cita
Namun ritual tersebut tinggal menjadi cerita masa
lalu, seiring berkembangnya zaman, modernisasi yang mempengaruh sampa pola
hidup dan perilaku masyarakat, perayaan panen padi tersebut sudah tidak
dilakukan oleh masyarakat desa Tukamasea. Budaya yang diwariskan nenek moyang
itu telah tergusur dengan budaya-budaya baru. Selesai panen padi, masyarakat
desa lebih senang keluar kota menghabiskan uang di pasar malam atau keluar ke
pantai.
Spirit kesyukuran yang sifatnya simbolis seperti di
atas sudah tidak bisa kita jumpai di tengah masyarakat Tukamasea. Tentu saja
setiap budaya yang hilang akan tergantikan dengan budaya yang baru, tidak ada
budaya yang hilang tanpa adanya anti tesis budaya yang baru menggantikannya. Sehingga
kondisi tersebut di atas akan menuntun kita untuk berfikir kritis atas pola
kehidupan suatu masyarakat.
“budaya modern apakah yang menggantikan budaya atau
ritual mannampu ase lolo di desa
Tukamasea?”. Pertanyaan ini akan
memperkaya khasana berfikir kita sekaligus memberikan kesadaran betapa cepat
perubahan struktur di masyarakat tanpa diimbangi dengan perubahan kultur.
Perubahan struktur yang saya maksud adalah perubahan organisasi dan gaya hidup,
sedangkan perubahan kultur adalah perubahan cara berfikir, bersikap dan menilai
spirit dari tata nilai yang melekat dalam masyarakat.
Mannampu ase lolo merupakan ritual yang bernilai
spirit dan punya nilai ibadah yang sangat besar. Mengundang masyarakat
berkumpul sebagai ajang silaturahim, menghidangkan makanan yang punya filsafat
baik dan menghibur masyarakat yang baru saja kelelahan panen padi serta
mempertahankan ilmu bela diri local merupakan usaha yang punya spirit dan nilai
ibadah di mata agama.
Mudah-mudahan ritual tersebut bisa kembali dihidupkan
masyarakat, jika tidak bisa dilakukan oleh pemangku adat atau pinati, maka pemuda
desa menjadi kelompok alternative untuk mempertahankan ritual yang menjadi
warisan sejarah bahkan warisan nenek moyang kita.
Maros, 04 Maret 2015
SAFARUDDIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar