Diposting 12 Januari 2015 oleh Admin (Safaruddin)
"Berhentilah berkata bangsa ini pernah dijajah Belanda selama
ratusan tahun!"
BEBERAPA waktu lalu,
saya mengikuti sholat jumat di sebuah masjid dekat Kampus UI. Dalam khotbahnya,
beberapa kali sang khatib menyebut bahwa salah satu penyebab umat Islam
Indonesia terpuruk adalah karena kita masih belum bisa keluar dari
bayang-bayang penjajah yang sudah menguasai bangsa ini selama 350 tahun.
Disebut angka itu, tiba-tiba ingatan saya berkunjung ke tahun 1985. Saat itu,
saya duduk di kelas 3 Sekolah Dasar, ketika mata pelajaran Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB) pertama kali diluncurkan oleh Pemerintah Orde Baru. Di
era itulah saya sering sekali mendengar ungkapan para guru bahwa penjajahan di
Indonesia berlangsung selama 350 tahun. Hah 350 tahun? Pikir saya. Alangkah
lamanya.
Namun tak ada yang
protes dengan angka tersebut. Semua orang (termasuk saya) seolah sudah sepakat
bahwa Indonesia memang dijajah dalam kurun waktu sebanyak itu. Hingga pada
1991, saat duduk di bangku kelas 1 SMA, saya membaca perdebatan antara Soe Hok
Gie dengan salah seorang dosen sejarahnya.
Soe sangat tidak
terima Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Mengutip pendapat
Profesor G.J. Resink (akademisi UI yang berkebangsaan Belanda), aktivis dan
mahasiswa sejarah itu menyebut angka tersebut hanya “dramatisasi politik”
Soekarno untuk membakar rakyat Indonesia punya jiwa.
“Dalam kenyataannya,
Belanda tak pernah bisa menguasai 100% wilayah Nusantara sampai akhir
kekuasaannya,”kata Soe sambil menyebut beberapa pemberontakan rakyat Aceh yang
masih berlangsung hingga 1942.
Rahmat Safari, salah seorang teman saya yang sangat menggilai
sejarah, bahkan berani menyebut penjajahan Belanda atas Indonesia hanya 4 tahun
(1945-1949). Apa sebab? “Sebelum 1945, secara de facto dan de jure, memang Republik Indonesia sudah ada?”katanya
malah balik bertanya kepada saya.
Logika historis Rahmat saya pikir-pikir memang ada benarnya
juga. Nama Indonesia sendiri baru disebut-sebut di kalangan ilmuwan ketika pada
1850, seorang etnolog berkebangsaan Inggris bernama James Richardson Logan
menulis Ethnology of the India Archipelago (dimuat dalam The Journal of Indian
Archipelago and East Asian Edisi IV. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Adolf Bastian, seorang
etnolog Jerman (1826-1905) lantas menulis sebuah buku berjudul Indonesien oder die
Inseln des Malayischen Archipel(Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu).
Sebelum 1945, wilayah
Indonesia memang dikenal sebagai Hindia Belanda.Artinya India punya Belanda.Itu
untuk membedakan dengan Hindia Barat atau India yang punya Inggris. Dua nama
itu murni hasil kesepakatan antara bangsa penjajah semata. Dan jauh sebelum ada
nama Hindia Belanda,kawasan kita lebih dikenal sebagai Nusantara (artinya
diantara pulau-pulau).Isinya terdiri dari berbagai bangsa dan kerajaan seperti
Sunda, Bali, Gowa, Pajajaran, Melayu, Andalas, Pagaruyung, Mataram, Banten dan
lain sebagainya.
Kembali ke soal angka
350. Rupanya, angka tersebut hulu-hulunya keluar dari mulut salah seorang
Gubernur Hindia
Gubernur Jenderal De
Jonge (tengah) foto: www.-archief.nl)
Belanda. Namanya
Bonifacius Cornelis de Jonge (1931-1936). Ceritanya, pada sekitar pertengahan
tahun 1930-an, ia memberikan keterangan ke pers bahwa sebuah Hindia Belanda
yang merdeka masih jauh dari kenyataan: “Kami sudah ada di sini sejak hampir
350 tahun yang lalu, dan kami akan tetap di sini sampai 300 tahun
kemudian,”ujarnya.
Benarkah apa yang
dikatakan De Jonge? Kalaupun itu dihitung sejak kedatangan pertama kali armada
Belanda pimpinan Cornelis de Houtman pada 22 Juli 1596 atau Jacob van Neck, van
Heemskerck, dan van Waerwijck pada 1 Mei 1598 ,saya pikir ia tidak salah.
Tapi bukankah saat pertama kali mereka datang ke Pelabuhan Banten tujuannya
hanya berbisnis semata,bukan melakukan penjajahan? Alih-alih menjajah, mereka
bahkan terikat kesepakatan dengan Kerajaan Banten dan justru mempersembahkan
upeti kepada Sultan Banten.
Harus diingat pula,
setelah berdirinya Maskapai Perdagangan Hindia Timur (VOC) pada 1602 tak serta
merta urusan “penguasaan” ekonomi dan politik Belanda atas kawasan Nusantara
berlangsung mulus. Berbagai perlawanan terjadi ketika Belanda berniat
menganeksasi wilayah kerajaan-kerajaan yang ada saat itu.
Muncullah berbagai
perang yang terjadi di berbagai di kawasan Nusantara. Di Jawa Barat muncul
seorang Haji Prawatasari yang memimpin secara sporadis perlawanan
terhadap VOC (1703-1707), di Sumatera Barat meletus Perang Padri (1821-1837),
di Jawa Tengah dan Yogyakarta terjadi Perang Diponegoro (1825-1830), Perang
Aceh I (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856),
Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra
Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh II
(1912-1942).
Praktis hingga 1942, Belanda tidak bisa sepenuhnya menguasai
wilayah Nusantara. Di beberapa kawasan seperti Banten, Aceh dan sebagian wilayah
Sumatera lainnya, bahkan secara de facto Belanda hanya menguasai kawasan kota semata. Sedangkan
kawasan pelosok dan pedalaman, tetap dikendalikan oleh para pejuang lokal.
Pendapat tersebut diperkuat oleh sejarawan dari Universitas Padjajaran, Nina Lubis,
Menurut Nina, hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di
Bali, dan beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian
sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda.
Jadi masihkan kita
menyebut dengan “takjub” di mimbar-mimbar dan kelas-kelas bahwa kita
telah dijajah Belanda selama 350 tahun? Kalau saya sih ogah. (hendijo)
(sumber: @sejarah RI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar