Malam tadi saya di pasar alfa. Beli susu untuk Nahdla. Sebelum ke sana saya sempat ke salah satu toko di kampung. Biasanya di sana tersedia susu SGM untuk usia bayi 0 - 6 bulan. Tapi malam tadi saya kurang beruntung. Susu yang biasa saya beli itu habis terjual.
Saya terpaksa ke alfa. Malam malam. Saya tak mau tangis Nahdla mengganggu tidur tetangga krn alasan susunya yang habis.
Di sana, di pasar kecil itu kita akan mendapati semua yg dibutuhkan untuk konsumsi sehari hari di rumah. Bukan hanya makanan kering, sayur mayur bahkan tersedia di sini. Saya tidak tahu bagaimana awalnya perusahaan besar itu menyurvei kebutuhan konsumtif masyarakat pedesaan. Yg jelas di sana disediakan semuanya.
Pelayanan di situ tdk dipertanyakan lagi baiknya. Manejemen pelayanan yg diberikan karyawanannya betul betul sempurna. Mirip mirip pelayanan perbankkan. Senyum dan keramahan akan membuat kita betah lama lama berbelanja.
Kondisi toko yang bersih dan dingin, serta tata letak barang jualan yg rapi menambah minat setiap pelanggan untuk kembali lagi. Apalagi jika perusahaan melakukan politik damping. Dengan melakukan harga promo beberapa jenis barang. Ibu ibu akan banyak memborong minyak goreng, popok dan susu untuk bayinya.
Semua yang saya tuliskan di atas adalah syarat syarat untuk menarik minat konsumen serta mempertahankannya u tetap loyal. Pola pola tersebut ada dlm salah satu materi mata kuliah manejemen pemasaran. Dan strategi tersebut sudah diadopsi pasar alfa dan pasar keci modern lainnya dari awal kemunculannya.
Lalu bagimana kondisi toko toko mikro rumahan masyarakat kita saat ini yg tumbuh menggurita di Maros? Saya belum mengapdate hasil sensus ekonomi yg baru baru dilakukan oleh BPS. Tapi saya yakin ratusan pedagang mikro rumahan yg ada di Maros sama sekali belum menggunakan atau minimal belajar menerapkan manejemen pertokoan modern macam tadi.
Toko toko kecil rumahan masih menggunakan sistem purba. Ukurannya paling luas 3 x 4 dengan kondisi yg kumuh. Barang dagangan disusun dalam lemari bertumpuk tumpuk. Hampir semuanya dlm lemari. Termasuk rokok. Yg digantung hanya shampo dan krupuk krupuk. Lalu di depan toko berserakan tabung gas dan air galong plus sampah di mana mana.
Barang dagangan yg diperjual belikan masih sangat terbatas. Pilihannya sangat sangat kurang. Belum lagi penjualnya yg tidak bersahabat. Rambut acak acakan ditambah wajah yg irit senyum. Kita jarang mendengar ucapan terima kasih keluar dr mulut penjual penjual td.
Lengkap lah sudah. Lengkap kelemahan kelemahan pedagang mikro kita. Di satu sisi kita layak berbangga, bahwa Masyarakat perlahan sadar bahwa berdagang adalah solusi u ekonomi yg lesu. Tempat jualan yang saya sebut toko mikro rumahan tadi cukup membantu masyarakat u memenuhi kebutuhan sehari harinya. Itu gerakan ekonomi masyarakat MEA. Di sisi lain kita juga prihatin dengan sistem purba yg masih terus diadopsi mereka.
Lalu bagaimana solusinya? Pemerintah tentu harus hadir di semua lini untuk masyarakatnya. Termasuk dalam persoalan tadi. Kalau memang butuh, pemerintah boleh membonceng pihak ketiga untuk melakukan peningkatan SDM Usaha Mikro tadi. Pemerintah bisa meminta itu ke alfa atau ke pasarkecil modern lainnya. Minimal sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahan kepada masyarakat. Dari sana mereka akan faham bagaimana mengelola TMR berbasis pelayanan. Tahu menata barang jualan dengan rapi. Membuat toko yang bersih dan enak dipandang mata.
Dengan begitu usaha Toko Mikro Rumahan akan berkembang pesat. Bukan hanya kuantitasnya tapi juga kwalitasnya. Saya menduga, hanya dengan begitu pedagang pedagang kecil tadi bisa bersaing di pasar bebas sekarang ini. Di sana ada harapan. Minimal masyarakat dengan sendirinya menolak pasar alfa masuk ke desa bahkan ke dusun dusun. Dengan tersebarnya toko mikro rumahan yg modern tadi kita bisa menunda masyarakat berbelanja di pasar Asing tadi.
Tukamasea 27 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar