Pesan ini disampaikan teman kepada salah seorang mahasiswa di kampung. Ia mantan karyawan Bank BRI dan sekarang, setelah keluar dr BRI, kembali diterima di Bank Mandiri.
Dia sendiri yang bilang ke saya kalau dia pernah bilang kayak gitu ke mahasiswa tersebut. Saya tidak menanggapi. Hanya mendengar dan memahami alasan alasannya.
Setiap org memang punya cara masing masing untuk menjalani hidup. Itu pilihan. Pilihan sadar, pilihan intelektualitas. Termasuk dalam menjalani perjalanan akademik di kampus. Cara masing masing menyeriusi perkuliahan beda-beda. Termasuk teman saya tadi.
Saya sendiri punya pandangan lain darinya tentang dunia kampus. Bahwa pendidikan kampus tidak jauh beda dengan sekolah. Di sana kita akan bertemu dengan kelompok yang Paolu Preire sebut sebagai kelompok "penekan" (guru/dosen). Dan kita ini yang menurut kritikus pendidikan Brazil tersebut sebagai kelompok "tertekan" (siawa/mahasiswa).
Masih menurut Freire; sistem didik yg dijalankan oleh guru/dosen tadi adalah sistem Bank. Bagaimana sistem bank? Peserta didik adalah rekening yang kosong dan guru/dosen tadi lah yg akan mengisinya. Pengetahuan dan informasi yg diberikan tadi mutlak kebenarannya. Buktinya apa? Pada saat ujian akhir, kita harus mengisi jawaban sama persis dngan informasi yg diberikan pengajar yg lalu-lalu. Kalau tidak, yap nilainya Minus.
Berangkat dr sinilah saya berpandangan lain dr teman saya yg tadi. Bahwa menyeriusi perkuliahan bukan hanya serius menongkrongi mata kuliah baku yg sesuai kurikulum kampus. Rumah, kampus, rumah, kampus, lalu rumah lagi, kemudian kampus lagi. Begitu terus sampai ijaza ada di tangan. Karena di sana kita tdk banyak menemukan pengetahuan yg membentuk kita jd manusia merdeka dan memerdekakan.
Menyeriusi perkuliahan itu harus ekstra sibuk. Sibuk dengan mata kuliah, sibuk dngan lembaga internal kampus, sibuk bersama lembaga ekstra kampus dan sibuk dengan kerja kerja sosial, sibuk cari pembayaran SPP dll. Ini lah mahiswa yg paripurna. Saya yakin jenis pemuda macam inilah yg menurut Soekarno akan bs menggoncangkan Nusantara.
Mahasiswa harus punya lembaga lembaga pendidikan alternatif baik intra maupun ekstra kampus. Di sana ia akan menimbah banyak pengetahuan yang tdk diberikan kampus. Tdk ada tekanan di sana, apalagi ujian semester. Yang ada hanya proses. Proses panjang.
Dari sana lah karakter identitas kebangsaan terbentuk dalam dirinya. Kepekaan-kepekaan sosial pun akan disemai di sana. Ia menjadi mahasiswa berkarakter dan tdk beronani dengan pengetahuannya sendiri. Kelak, saat Toga sudah di kepala dan status Sarjana melengkapi namanya, ia bukan hanya bernilai u dirinya sendiri tapi juga bernilai bagi keluarganya, tetangganya, kampungnya, bangsa dan agamanya.
Tukmasea, 25 Juli 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar