Kamis, 12 Februari 2015

WAJAH NEGERIKU DI UJUNG ZAMAN

Indonesia, itulah nama besar negeri yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar. Di negeri ini segalah jenis fauna bisa hidup berkembang dengan sehat, segalah jenis flora bisa tumbuh subur, berdaun lebat, berbunga dan bahkan berbuah. Dari Sabang sampai Marauke terbentang luas hutan yang lebat, gunung yang tinggi dan laut yang hidup didalamnya ratusan juta jenis ikan.  Maka tidak berlebihan jika Indonesia sering disebut sebagai nama lain dari Syurga dunia.


Selain itu, Indonesia juga menjadi tempat berkumpulnya puluhan suku yang berbeda. Hidup berdampingan dalam bingkai kerukunan dan gotong royong, masyarakat hidup dengan semangat kebersamaan , saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan. Maka selayaknya Indonesia disebut sebagai Negara plural

Tidak hanya itu, Indonesia juga menjadi Negara lumbung agama. Hampir semua jenis agama dan kepercayaan  yang ada di dunia ini dianut oleh rakyat Indonesia. Yang fenomenal adalah setiap pemeluk agama bisa hidup berdampingan dengan damai dan saling menghormati. Setiap pemeluk agama menjalankan syariatnya masing-masing secara bersungguh-sungguh tanpa mengganggu aktivitas keagamaan pemeluk agam lain. Mereka betul-betul paham bahwa beragama merupakan usaha mengikatkan diri dalam aturan tuhan yang berdampak kedalam diri dan sekaligus berdampak di luar diri seseorang.

Indonesia menjadi salah satu Negara lahirnya politisi-politisi ulung yang setara dengan tokoh seperti Mantan Presiden Amerika George Washington  (1809 - 1865), mantan Jenderal Prancis Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) dan mantan Presiden Jerman Hitler, bahkan Indonesia juga telah melahirkan tokoh intelektual cerdas yang mirip dengan kelompok intelek dari Yunani seperti Tan Malaka dan bung Syahrir. Indonesia juga telah mengorbitkan pejuang Griliawan yang sama dengan Robin Hood di Ingris seperti Kahar Mudzakkar dan Jendral Sudirman

Tapi sayangnya, potret di atas hanya berlaku di masa yang lalu. Masa dimana bangsa ini masih menjunjung tinggi adat siri’, sipakatau dan sipakainge. Di masa itu, orang Asing segan kepada rakyat dan pemerintah Indonesia. Perlahan tapi pasti, tanah subur itu akan berubah menjadi tanah yang gersang. Hutan akan gundul, gunung akan rata dengan tanah, laut akan bercampur dengan minyak bumi. Semuanya terjadi karena keserakahan manusia untuk memuaskan hasrat untuk menjadi penguasa dan pengusaha tanpa memikirkan dampak jangka panjang yang diakibatkan. Mereka akan mewariskan bumi yang gersang kepada anak cucu ibu pertiwi, yang berarti hanya akan memberikan penyesalan bagi generasi yang akan hidup di masa yang datang.

 Kehidupan rukun dan berbasis gotong royong antar suku sudah teramat sulit ditemukan di setiap kota bahkan di daerah-daerah sekalipun. Konflik kesukuan kerap terjadi di desa-desa, bahkan di kampus tempat berkumpulnya kaum intelek kerap kali terjadi kerusuhan atas dasar perbedaan suku. Perbedaan suku menjadi salah satu alat yang sering digunakan oknum tertentu untuk membuat kondisi memanas sampai-sampai harus mengorbankan jiwa orang yang tidak tahu menahu persoalan.
Mungkin kita masih ingat dengan kerusuhan yang berlatar belakang agama dan etnis yang pernah terjadi di daerah Poso 17 April 2000 silam. Menurut data Polri, kerusuhan tersebut memakan korban 137 orang meninggal, sedangkan menurut militer 237 orang meninggal, 27 luka-luka, puluhan rumah rusak dan dibakar, 1 bus dibom, beberapa Greja dirusak, dibaka dan dibom. Padahal sebelumnya mereka hidup harmonis bersama, hampir setiap aktivitas dilakukan secara bergotong royong, bahkan dalam hal makanan, mereka saling menghargai satu sama lain. Semisal ; orang Kristen tidak akan memberi makanan Babi saat mengundang umat Islam datang ke acaranya, bahkan mereka memanggil seorang Muslim laki-laki untuk memotong ayam atau kerbau yang akan dihidangkan untuk orang muslim.

Sepertinya, negeri ini sudah mandul untuk melahirkan tokoh seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Kahar Mudzakkar, Jedral Sudirman dan kawan-kawan seperjuangan mereka. Indonesia saat ini sepertinya subur melahirkan tokoh-tokoh yang berjubah Malaikat tapi berhati  Iblis, berbadan seperti jendral perang tapi bermental krupuk dan berhias seperti Ulama tapi serakah mengumpulkan harta, tahta dan bahkan wanita.

Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945, ditandai dengan dibacanya proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta. Sejak itu, rakyat Indonesia secara keseluruhan dijanjikan kehidupan yang makmur, adil dan sejahtera, namun sejak itu pula rakyat kecil tidak pernah memperoleh yang dijanjikan. Kata makmur, adil dan sejahtera seperti dongeng  yang dibacakan sang nenek kepada cucunya sebagai pengantar tidur, bukan untuk dilihat, apalagi untuk dirasakan dalam kehidupan, melainkan hanya untuk didengarkan agar tertidur pulas.
Kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan hanya milik segelintir orang yang dekat dengan penguasa dan pengusaha. Hanya mereka yang punya modal duit yang besar, cerdik dan sedikit licik yang dapat merasakan nikmatnya kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya mereka yang menguasai penegak hukum yang bisa memperoleh keadilan. Sedangkan orang kecil hanya akan menjadi bulan-bulanan penegak hukum, hanya menjadi ketapel bagi orang kaya dan hanya menjadi tong sampah bagi penguasa.

Orang kecil akan menjadi target hukum untuk menyelamatkan orang besar, tidak sedikit di bangsa ini orang ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus tapi sampai di jeruji besi dia masih bingung  kesalahan apa yang dilakukan sehingga harus menanggung penderitaan di dalam penjara. Tidak hanya itu, sudah ada beberapa orang kecil yang harus menerima takdirnya di hadapan hukum untuk menjalani  hukuman mati dengan tima panas bersarang ditubuhnya.

Dalam salah satu Novel absurd berjudul The Trial cuplikan tentang seorang Josep K. yang bekerja sebagai banker yang serta merta ditangkap oleh dua orang agen. Josep K. diikat dan ditutup matanya, ia tidak tahu dirinya berada di mana. Ia bahkan tidak tahu apa yang sudah dilakukannya yang menyebabkan ia disekap seperti ini. dihadapannya berdiri dua sosok penyidik. “Apa yang telah kamu lakukan?”. Tanya satu diantara mereka. “Aku tidak melakukan apa-apa”. Jawab Josep K. spontan. Para penyidik kontan tertawa. “oh luar biasa, kamu tidak melakukan apa-apa tapi kamu berada di sini”. Ujar seorang penyidik yang lain. Josep yang sebelumnya gamang, kini membatin geram. “jadi, aku harus mengakui kejahatan apa supaya aku bisa dituduh bersalah?”

Cuplikan diatas memberikan gambaran tentang negeri yang hukumnya seperti banteng yang dilepas dalam padang luas, kemudian dimasukkan orang-orang  yang sudah mengenakan busana yang berwarna merah, itulah orang kecil atau sering disebut orang miskin dan atau orang “sial”. Kemanapun orang yang menggunakan busana merah itu berlari, tetap akan terus menjadi target moncong dan tanduk banteng sampai orang itu binasa kerena lari atau tewas diujung tanduk.

Inilah potret bangsa saat ini yang terlihat jelas oleh siapapun yang mencermatinya, yang kaya semakin kaya, yang berkuasa semakin aman, sedangkan yang miskin semakin melarat. Sehingga tidak keterlaluan jika sebagian orang mengatakan Indonesia hanya milik penguasa dan pengusaha, selebihnya hanya numpang hidup untuk menghabiskan jatah usia yang dititipkan tuhan padanya. Sejak zaman Soekarno, Kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan hanya sekedar dongeng pengantar tidur
Melihat kondisi negeri sekarang ini, baik dari kacamata budaya, agama, social, ekonomi dan politik, sepertinya Indonesia sudah memenuhi syarat menjadi salah satu Negara yang akan hilang dari geopolitik dan geostrategi ekonomi dunia seperti pulau Atlantis yang hilang ribuan tahun silam. Soekarno-Hatta sebagai Founding Father bangsa ini akan menangis di dalam kubur jika saja mereka tahu kondisi negerinya seperti saat ini. Hukum diperjual belikan dengan uang rece, pengajuan grasi ditolak mentah-mentah oleh Presiden dan hak hidup seseorang dicabut tanpa harus memberikan kesempatan untuk merehabilitase sikap dan perilakuknya, seseorang tiba-tiba dinyatakan tersangka meski tidak tahu dosa apa yang telah diperbuat. seperti dimuat dalam opini harian kompas “hukuman datang jauh mendahului ditemukannya kesalahan pihak tertudu (11/02/15)”.

Inilah negeriku, tempat para pecundang, tempat para pedagang yang tidak bermoral, rumah para penjilat tanpa punya rasa malu, pengadilan para ahli hukum yang tidak taat pada hukum. Negeri ini menjadi lumbung orang-orang munafik, tempat berkumpul orang tua yang terlambat nakal, kamar bagi pria dan wanita untuk selingkuh dan menghianati pasangan hidup. Ini negeriku, berbeda dengan negeri ideal seperti yang dicita-citakan Karl Mars.

Maros, 12 Februari 2015

Codding.marusu


Tidak ada komentar: