Indonesia, itulah nama
besar negeri yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar. Di negeri ini
segalah jenis fauna bisa hidup berkembang dengan sehat, segalah jenis flora
bisa tumbuh subur, berdaun lebat, berbunga dan bahkan berbuah. Dari Sabang
sampai Marauke terbentang luas hutan yang lebat, gunung yang tinggi dan laut
yang hidup didalamnya ratusan juta jenis ikan.
Maka tidak berlebihan jika Indonesia sering disebut sebagai nama lain
dari Syurga dunia.
Selain itu, Indonesia juga menjadi tempat berkumpulnya puluhan suku yang berbeda. Hidup berdampingan dalam bingkai kerukunan dan gotong royong, masyarakat hidup dengan semangat kebersamaan , saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan. Maka selayaknya Indonesia disebut sebagai Negara plural
Tidak hanya itu,
Indonesia juga menjadi Negara lumbung agama. Hampir semua jenis agama dan
kepercayaan yang ada di dunia ini dianut
oleh rakyat Indonesia. Yang fenomenal adalah setiap pemeluk agama bisa hidup
berdampingan dengan damai dan saling menghormati. Setiap pemeluk agama
menjalankan syariatnya masing-masing secara bersungguh-sungguh tanpa mengganggu
aktivitas keagamaan pemeluk agam lain. Mereka betul-betul paham bahwa beragama
merupakan usaha mengikatkan diri dalam aturan tuhan yang berdampak kedalam diri
dan sekaligus berdampak di luar diri seseorang.
Indonesia menjadi salah
satu Negara lahirnya politisi-politisi ulung yang setara dengan tokoh seperti
Mantan Presiden Amerika George Washington
(1809 - 1865), mantan Jenderal Prancis Napoleon Bonaparte (1769 – 1821)
dan mantan Presiden Jerman Hitler, bahkan Indonesia juga telah melahirkan tokoh
intelektual cerdas yang mirip dengan kelompok intelek dari Yunani seperti Tan
Malaka dan bung Syahrir. Indonesia juga telah mengorbitkan pejuang Griliawan
yang sama dengan Robin Hood di Ingris seperti Kahar Mudzakkar dan Jendral
Sudirman
Tapi sayangnya, potret
di atas hanya berlaku di masa yang lalu. Masa dimana bangsa ini masih
menjunjung tinggi adat siri’, sipakatau dan
sipakainge. Di masa itu, orang Asing
segan kepada rakyat dan pemerintah Indonesia. Perlahan tapi pasti, tanah subur
itu akan berubah menjadi tanah yang gersang. Hutan akan gundul, gunung akan
rata dengan tanah, laut akan bercampur dengan minyak bumi. Semuanya terjadi
karena keserakahan manusia untuk memuaskan hasrat untuk menjadi penguasa dan
pengusaha tanpa memikirkan dampak jangka panjang yang diakibatkan. Mereka akan
mewariskan bumi yang gersang kepada anak cucu ibu pertiwi, yang berarti hanya akan
memberikan penyesalan bagi generasi yang akan hidup di masa yang datang.
Kehidupan rukun dan berbasis gotong royong
antar suku sudah teramat sulit ditemukan di setiap kota bahkan di daerah-daerah
sekalipun. Konflik kesukuan kerap terjadi di desa-desa, bahkan di kampus tempat
berkumpulnya kaum intelek kerap kali terjadi kerusuhan atas dasar perbedaan
suku. Perbedaan suku menjadi salah satu alat yang sering digunakan oknum
tertentu untuk membuat kondisi memanas sampai-sampai harus mengorbankan jiwa
orang yang tidak tahu menahu persoalan.
Mungkin kita masih
ingat dengan kerusuhan yang berlatar belakang agama dan etnis yang pernah
terjadi di daerah Poso 17 April 2000 silam. Menurut data Polri, kerusuhan
tersebut memakan korban 137 orang meninggal, sedangkan menurut militer 237
orang meninggal, 27 luka-luka, puluhan rumah rusak dan dibakar, 1 bus dibom,
beberapa Greja dirusak, dibaka dan dibom. Padahal sebelumnya mereka hidup
harmonis bersama, hampir setiap aktivitas dilakukan secara bergotong royong,
bahkan dalam hal makanan, mereka saling menghargai satu sama lain. Semisal ;
orang Kristen tidak akan memberi makanan Babi saat mengundang umat Islam datang
ke acaranya, bahkan mereka memanggil seorang Muslim laki-laki untuk memotong
ayam atau kerbau yang akan dihidangkan untuk orang muslim.
Sepertinya, negeri ini
sudah mandul untuk melahirkan tokoh seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka,
Syahrir, Kahar Mudzakkar, Jedral Sudirman dan kawan-kawan seperjuangan mereka.
Indonesia saat ini sepertinya subur melahirkan tokoh-tokoh yang berjubah
Malaikat tapi berhati Iblis, berbadan
seperti jendral perang tapi bermental krupuk dan berhias seperti Ulama tapi
serakah mengumpulkan harta, tahta dan bahkan wanita.
Indonesia sudah merdeka
sejak tahun 1945, ditandai dengan dibacanya proklamasi kemerdekaan oleh
Soekarno dan Hatta. Sejak itu, rakyat Indonesia secara keseluruhan dijanjikan
kehidupan yang makmur, adil dan sejahtera, namun sejak itu pula rakyat kecil
tidak pernah memperoleh yang dijanjikan. Kata makmur, adil dan sejahtera
seperti dongeng yang dibacakan sang
nenek kepada cucunya sebagai pengantar tidur, bukan untuk dilihat, apalagi
untuk dirasakan dalam kehidupan, melainkan hanya untuk didengarkan agar
tertidur pulas.
Kemakmuran, keadilan
dan kesejahteraan hanya milik segelintir orang yang dekat dengan penguasa dan
pengusaha. Hanya mereka yang punya modal duit
yang besar, cerdik dan sedikit
licik yang dapat merasakan nikmatnya kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya mereka
yang menguasai penegak hukum yang bisa memperoleh keadilan. Sedangkan orang
kecil hanya akan menjadi bulan-bulanan penegak hukum, hanya menjadi ketapel
bagi orang kaya dan hanya menjadi tong sampah bagi penguasa.
Orang kecil akan
menjadi target hukum untuk menyelamatkan orang besar, tidak sedikit di bangsa
ini orang ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus tapi sampai di jeruji
besi dia masih bingung kesalahan apa
yang dilakukan sehingga harus menanggung penderitaan di dalam penjara. Tidak
hanya itu, sudah ada beberapa orang kecil yang harus menerima takdirnya di
hadapan hukum untuk menjalani hukuman
mati dengan tima panas bersarang ditubuhnya.
Dalam salah satu Novel
absurd berjudul The Trial cuplikan tentang seorang Josep K. yang bekerja
sebagai banker yang serta merta ditangkap oleh dua orang agen. Josep K. diikat
dan ditutup matanya, ia tidak tahu dirinya berada di mana. Ia bahkan tidak tahu
apa yang sudah dilakukannya yang menyebabkan ia disekap seperti ini.
dihadapannya berdiri dua sosok penyidik. “Apa yang telah kamu lakukan?”. Tanya
satu diantara mereka. “Aku tidak melakukan apa-apa”. Jawab Josep K. spontan.
Para penyidik kontan tertawa. “oh luar biasa, kamu tidak melakukan apa-apa tapi
kamu berada di sini”. Ujar seorang penyidik yang lain. Josep yang sebelumnya
gamang, kini membatin geram. “jadi, aku harus mengakui kejahatan apa supaya aku
bisa dituduh bersalah?”
Cuplikan diatas
memberikan gambaran tentang negeri yang hukumnya seperti banteng yang dilepas
dalam padang luas, kemudian dimasukkan orang-orang yang sudah mengenakan busana yang berwarna
merah, itulah orang kecil atau sering disebut orang miskin dan atau orang
“sial”. Kemanapun orang yang menggunakan busana merah itu berlari, tetap akan
terus menjadi target moncong dan tanduk banteng sampai orang itu binasa kerena
lari atau tewas diujung tanduk.
Inilah potret bangsa
saat ini yang terlihat jelas oleh siapapun yang mencermatinya, yang kaya
semakin kaya, yang berkuasa semakin aman, sedangkan yang miskin semakin
melarat. Sehingga tidak keterlaluan jika sebagian orang mengatakan Indonesia
hanya milik penguasa dan pengusaha, selebihnya hanya numpang hidup untuk menghabiskan jatah usia yang dititipkan tuhan
padanya. Sejak zaman Soekarno, Kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan hanya
sekedar dongeng pengantar tidur
Melihat kondisi negeri
sekarang ini, baik dari kacamata budaya, agama, social, ekonomi dan politik,
sepertinya Indonesia sudah memenuhi syarat menjadi salah satu Negara yang akan
hilang dari geopolitik dan geostrategi ekonomi dunia seperti pulau Atlantis yang
hilang ribuan tahun silam. Soekarno-Hatta sebagai Founding Father bangsa ini
akan menangis di dalam kubur jika saja mereka tahu kondisi negerinya seperti
saat ini. Hukum diperjual belikan dengan uang rece, pengajuan grasi ditolak mentah-mentah oleh Presiden dan hak hidup seseorang dicabut tanpa harus
memberikan kesempatan untuk merehabilitase sikap dan perilakuknya, seseorang
tiba-tiba dinyatakan tersangka meski tidak tahu dosa apa yang telah diperbuat.
seperti dimuat dalam opini harian kompas “hukuman datang jauh mendahului
ditemukannya kesalahan pihak tertudu (11/02/15)”.
Inilah negeriku, tempat
para pecundang, tempat para pedagang yang tidak bermoral, rumah para penjilat
tanpa punya rasa malu, pengadilan para ahli hukum yang tidak taat pada hukum.
Negeri ini menjadi lumbung orang-orang munafik, tempat berkumpul orang tua yang
terlambat nakal, kamar bagi pria dan
wanita untuk selingkuh dan menghianati pasangan hidup. Ini negeriku, berbeda
dengan negeri ideal seperti yang dicita-citakan Karl Mars.
Maros, 12 Februari 2015
Codding.marusu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar