SAFARUDDIN
Sekretaris Amanat Kemaslahatan Rakyat (AKAR)
Indonesia sebagai
Negara yang di dalamnya terdapat banyak agama dan kepercayaan, menjadikannya
Negara yang sering diberi julukan negara multi agama. Islam, Kristen,
Protestan, Hindu, Budha, Konhucu dan beberapa kepercayaan lainnya, hingga saat
ini, masing-masing agama di atas memiliki pemeluk yang jumlahnya tidak sedikit.
Masing-masing agama
mempunyai hari-hari besar, yang menurut pemeluknya sakral untuk diperingati.
Bahkan beberapa hari besar agama seperti perayaan Idul Fitri bukan hanya
disambut meriah oleh umat Muslim tapi juga disambut bahagia oleh umat agama
lain. Tidak jarang kita melihat dan mendengar seorang non muslim mengucapkan
selamat atas perayaan idul fitri kepada umat Muslim.
Saat ini kita sampai pada satu hari besar saudara kita umat Kristiani yaitu Day Valentine atau sering disebut hari kasih sayang. Valentine sebenarnya adalah nama seorang martyr (syuhada dalam pengertian Islam) di masa kekaisaran Romawi. Pada tanggal 14 Februari 270 M. St Valentine dibunuh karena melakukan pertentangan pada penguasa Romawi yaitu Raja Claudius II (268-270 M).
Untuk mengangungkan St.
Valentine karena dianggap sebagai symbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan
dalam menghadapi hidup maka para pengikutnya memperingati kematiannya sebagai
upacara keagamaan. Namun sejak abad ke-16 peringatan tersebut beransur hilang
dan berubah menjadi peringatan yang tidak berbauh agama. Karena peringatan
valentine berdekatan dengan peringatan hari kasih sayang bangsa Romawi atau
sering disebut hari supercalis pada
tanggal 15 Februari maka orang Romawi yang pada saat itu kontan masuk agama
Kristiani mengaitkan peringatan St. Valentine dengan peringatan supercalis menjadi hari kasih sayang
sedunia. Itulah latar belakang perayaan hari valentine yang menuai kritikan oleh
banyak kalangan
Perayaan hari kasih
sayang ini disambut gembira oleh penganut Kristiani bahkan oleh penganut non
Kristiani di Indonesia, tapi saat bersamaan perayaan sekali dalam satu tahun
ini disambut kurang baik oleh banyak kalangan baik dari organisasi keagamaan
maupun dari pemerintahan daerah. Menurut Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) perayaan
hari kasih sayang adalah haram, menurut pandangan mereka tidak ada sedikitpun
kebolehan seorang muslim mengikuti kebiasaanorang kafir. Menyerupai orang kafir
sama halnya mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai
Islam dalam dirinya (13/02/13). Bahkan beberapa kelompok Islam ekstrim yang
lain mengharamkan seorang muslim untuk mengucapkan “selamat hari valentine”.
Selain itu Majelis
Ulama Indonesia (MUI) melalui Amidhan Shaberah memberi tanggapan lebih pada
memberi nasehat tentang makna kasih sayang, menurutnya kasih sayang dalam arti
muda-mudi terlalu sempit, dan bisa terjerumus kepada hal-hal yang tidak
diinginkan.
Selain organisasi Agama
di atas, pemerintah kota di beberapa wilayah ikut perihatin atas perayaan
valentine oleh generasi muda Indonesia. Keperihatinan tersebut kemudian dituankan
menjadi kebijakan yang melarang pelajar atau pemuda untuk merayakannya.
Pemerintah Kota Surabaya dengan tegas melarang perayaan valentine oleh seluruh
siswa (i) di kota Surabaya dengan mengeluarkan surat edaran bernomor
421/1121/43664/2015 yang ditujukan kepada kepala sekolah SMA, SMP, SMK baik
negeri maupun swasta. Di Ace, sebagai wilayah yang satu-satunya menerapkan
syariat Islam di Indonesia, juga dengan tegas melarang warganya untuk merayakan
valentine, dan untuk mengantisipasi perayaan oleh generasi muda, pemerintah
meningkatkan patroli di tempat-tempat nongkrong remaja. Bahkan pemerintah kota
Makassar ikut menghimbau warga Makassar agar tidak merayakan hari valentine
Fatwa dan kebijakan di
atas merupakan bentuk penolakan agama dan Negara terhadap budaya agama atau
Negara lain. Ada persepsi negative yang kemudian melekat dalam perayaan
valentine yang dilakukan oleh umat Kristiani seperti seks bebas bagi generasi
muda, entah karena latar belakang kelahiran perayaannya atau karena melihat
perilaku muda-mudi di hari valentine. Valentine dipandang sebagai penjelmaan
senjata Barat untuk merusak moral dan masa depan generasi muda Islam.
Tapi seharusnya kita
tidak hanya mendevinisikan sesuatu pada persepsi sejarah atau monoton pada
persepsi simbolis agama dan prasangka garis lurus pada sesuatu hal. Kita
seharusnya lebih toleran dan bijak untuk mendevinisikan dan mencap valentine
sehingga tidak terkesan "main kayu" atau
dianggap teroris.
Mengucapkan selamat
hari valentine merupakan respon positif dan sikap toleran seorang muslim kepada
pemeluk agama lain, bukan sebagai bentuk pembenaran dan mendukung apalagi
percaya pada agama yang dianut saudara kita di Kristiani. Memberikan ucapan “baik“
kepada pemeluk agama lain bukan berarti ikut mengpopulerkan agama tersebut
tetapi lebih pada penghormatan atas kebebasan seseorang untuk memeluk agama
menurut keyakinannya masing-masing sebagaimana amanat UUD 1945.
Hal tersebut pernah
dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. pada saat seorang Kafir Qurais meninggal
dunia yang ditandu ketempat bersemayangnnya yang terakhir. Para penandu jenasah
lewat di depan rumah Nabi Muhammat dan beliau sontak berdiri. Di jaman itu,
salah satu bentuk penghormatan pada mayat yang ditandu ke tempat bersemayang
terakhirnya adalah dengan berdiri. Melihat Nabi berdiri, para sahabat
terkejut. “kenapa engkau berdiri yah
Rasulullah, padahal orang mati itu adalah seorang Kafir?” Tanya salah seorang
sahabat. “Aku berdiri bukan untuk
menghormati agama yang dibawa sampai mati tapi karena dia adalah manusia”.
Jawab nabi Muhammad. (terjemahan bebas).
Cuplikan di atas
memberi gambaran kepada kita betapa Nabi Muhammad sangat menghargai perbedaan
antara manusia dan betapa beliau menghormati sisih kemanusiaan seseorang,
sehingga tidak ada alasan bagi umat beliau untuk tidak menghargai segalah
bentuk perbedaan dan menghormati sisih kemanusiaan setiap orang.
Sikap melarang untuk mengucapkan
dan merayakan valentine tentu memiliki dasar dan alasan, ada dua alasan kuat
yang mendasari pelarangan mengucapkan dan merayakan hari valentine yaitu, pertama ; valentine bukan budaya Timur
melainkan budaya Barat. kedua :Valentine
diterjemahkan para muda dan mudi sebagai momen penyaluran rasa kasih sayang dengan
hal-hal yang berbauh seks, bahkan dengan melakukan hubungan seks di luar nikah.
Alasan tersebut di atas
memang sangat masuk akal dan patut untuk diapresiasi, namun perlu untuk
dicermati lebih dalam lagi. Alasan ‘valentine bukan budaya Timur’ terlalu
sektoral dan otonomisme yang dapat berakibat membatasi culture mix yang bisa berdampak menghambat percepatan dalam menjawab
tantangan zaman. disatu sisih kita telah meniru bahkan menikmati budaya yang
sama sekali bukan warisan dunia Timur seperti teknologi. Sedangkan alasan sikap
muda-mudi terhadap valentine yang berbauh seks terlalu menyempitkan pandangan.
Tindakan-tindakan yang berbauh seks seperti berciuman dan berpelukan bukan lagi
hal aneh kita jumpai di tempat umum, bahkan Seks bebas di Negara ini bukan lagi
kasus langka, melainkan hal lumra terjadi. Inilah potret anak bangsa saat ini
yang menyalahgunakan teknologi. Ini bukan tindakan amoral yang hanya terjadi pada
hari valentine melainkan di hari-hari yang lain seperti malam atau hari tahun
baru.
Organisasi Islam dan
pemerintah seharusnya tidak hanya menghabiskan energi untuk mengkritisi simbol
atau penamaan momen seperti valentine sebagai penyebab perilaku amoral
muda-mudi saat ini. mereka yang kritis dengan tindakan melarang umat Islam ikut
serta dalam mengucapkan dan merayakan valentine seharusnya lebih focus pada
pembinaan muda-mudi agar tidak berbuat yang berbauh seks. Mengawasi penggunaan
teknologi muda-mudi agar tidak disalah gunakan.
Sosialisasi, penyuluhan
dan pengawasan teknologi harus dilakukan pemerintah secara rutin agar dapat
terus memperbaharuhi pandangan dan pemahaman muda-mudi soal bagaimana
menjadikan teknologi sebagai pendukung utama mencapai peradaban tingkat tinggi
dunia. Air keruh yang diperoleh di perairan sawah tidak harus disikapi dengan
merusak bendungan yang ada melainkan melakukan perbaikan mulai dari bendungan
dampai di ujung sumber mata air.
Kita harus secara bijak
melihat hari valentine bukan sebagai penyebab melainkan hanya sebagai
kesempatan muda-mudi untuk melampiaskan sikap tidak bermoral yang sudah
bersarang dalam dirinya. Jika hanya melarang untuk merayakan valentine maka itu
bukanlah solusi untuk keluar dari sikap tidak bermoral generasi muda-mudi,
melainkan hanya menunda saja dan muda-mudi akan mencari dan akan menemukan
momen lain untuk melampiaskan gejolak yang tertunda selama sikap itu masih
bersarang dalam dirinya. Pendidikan Indonesia harus lebih diperketat untuk
mencetak pemuda intelektual yang bermoral dan religious, bukan hanya mencetak
kelompok terpelajar yang tidak diimbangi dengan moral yang baik dan nilai-nilai
Islam yang mumpuni.
Saya kira, kita semua
sepakat bahwa jika perayaan valentine diwarnai dengan warna islami misalnya
muda-mudi melakukan pertemuan sebagai ajang silaturahim sekaligus melakukan seminar
tentang arti “kasih sayang dalam kehidupan”, bagaimana tuhan memberikan kasih
sayang, bagaimana orang tua menumpahkan segalah rasa kasih sayang, seorang mencurahkan
rasa kasih dan sayang pada sahabatnya
dan bagaimana seorang laki-laki menunjukkan rasa kasih sayangnya pada seorang
perempuan.
Maros, 14 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar