Selasa, 24 Februari 2015

ASWAJA-MASHAB ATAU MANHAJ AL-FIKIR UNTUK NU?

Berdirinya NU pada 31 Januari 1926 oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbiullah sebagai symbol untuk menciptakan perdamaian baik secara nasional maupun internasional. Secara nasional adalah mengimbangi dan membendung gerakan pembaharu seperti gerakan Wahabi masuk ke Indonesia, khususnya di pulau Jawa, akan melahirkan konflik antara kelompok ulama tradisional yang bermazhab dan kelompok pembaharu yang bermanhaj.

 Perbedaan antara dua kelompok ini akan berimplikasi pada perpecahan di kubu Islam dalam negeri di tengah menghadapi kolonialisme dan imperialisme. Tentu saja perpecahan tersebut akan dimanfaatkan oleh para penjajah. Maka lahirlah NU secara formal untuk menjaga keseimbangan Islam dan bangsa Indonesia. Secara internasional NU lahir untuk menghentikan gerakan Wahabi oleh Ibnu Saud di kerajaan Arab Saudi yang dikenal dengan gerakan puritanistik (kembali terhadap al-Quran dan al-Sunnah) dengan meninggalkan karya ulama terdahulu, disamping itu menghancurkan kuburan Rasulullah dan tempat-tempat bersejarah di tanah Haram.


Dewasa ini para ulama masih berselisih paham tentang bagaimana NU memposisikan Asawaja, apakah Aswaja sebagai Madzhab atau sebagai Manhaj seperti gugatan Prof. KH. Said Agil Siradj terhadap konsep Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari tentang Aswaja yang dianggap tidak relevan lagi untuk gerasi saat ini. Penulis berkeyakinan bahwa Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sudah sangat bijaksana meletakkan konsep Aswaja, beliau sama sekali tidak seyogyangnya meletakkan Aswaja sebagai madzhab. 

Beliau dengan sifat bijaknya dalam mengembangkan Islam di Indonesia khususnya di pulau Jawa meletakkan Aswaja sebagai doktrin madzhab dalam kondisi tertentu dan juga dalam Manhaj dalam kondisi yang lain agar tidak terjadi benturan antara generasi tua dan generasi muda dalam kubu NU.

Apabila Aswaja dipahami sebagai madzhab seutuhnya, maka gerakan NU bersifat ekslusif yang akan berdampak kekakuannya dalam merespon fenomena dan keadaan social politik global, NU tidak mampu berhadapan dengan dunia teknologi dan globalisasi. Begitupula sebaliknya apabila Aswaja dipahami sebagai manhaj al fikir seutuhnya, gerakan NU akan liberal dan tidak memiliki asas yang kuat untuk mempertahankan tradisi lama yang baik. 

Oleh karena itu, paradigma Aswaja dalam menatap visi NU ke depan di tengah terjadinya percaturan politik di berbagai kehidupan, Aswaja NU merupakan perpaduan antara doktrin madzhab dan doktrin manhaj al-fikir. Dua metode ini bagaikan dua sayap burung yang akan membawa NU terbang membangun peradaban menuju Negara yang berada dalam Pammasena Dewatae.

Kemudian yang menjadi pertanyaan kapan NU menerapkan Aswaja sebagai doktrin mazhab dan kapan Aswaja sebagai Manhaj al-fikir. Ketika berhubungan dengan persoalan yang menyangkut tentang ibadah, muamalah, munakahat dan jinayah yang sudah terdapat dalam rumusan kitab-kitab klasik yang dianggap mu’tabar, didukung dalil-dalil nas yang valid, disitulah kita terapkan Aswaja sebagai doktrin madzhab. 

Tetapi ketika dihadapkan dengan persoalan baru yang tidak terdapat pada rumusan kitab klasik yang menyangkut kepentingan umat, berhadapan tentang isu global, seperti HAM, status non muslim dan muslim, menyikapi politik tingkat nasional dan internasional, menyikapi kondisi tersebut maka tentu saja Aswaja sebagai doktrin madzhab tidak akan bisa menyelesaikannya tapi Aswaja sebagai Manhaj al-fikir bisa dijadikan sebagai pisau untuk menganalisa kondisi tersebut di atas.

Maros, 25 Pebruari 2015 


SAFARUDDIN

Tidak ada komentar: