Berdirinya NU pada 31 Januari 1926 oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari
dan KH Wahab Hasbiullah sebagai symbol untuk menciptakan perdamaian baik
secara nasional maupun internasional. Secara nasional adalah
mengimbangi dan membendung gerakan pembaharu seperti gerakan Wahabi
masuk ke Indonesia, khususnya di pulau Jawa, akan melahirkan konflik
antara kelompok ulama tradisional yang bermazhab dan kelompok pembaharu
yang bermanhaj.
Perbedaan antara dua kelompok ini akan berimplikasi pada
perpecahan di kubu Islam dalam negeri di tengah menghadapi kolonialisme
dan imperialisme. Tentu saja perpecahan tersebut akan dimanfaatkan oleh
para penjajah. Maka lahirlah NU secara formal untuk menjaga
keseimbangan Islam dan bangsa Indonesia. Secara internasional NU lahir
untuk menghentikan gerakan Wahabi oleh Ibnu Saud di kerajaan Arab Saudi
yang dikenal dengan gerakan puritanistik (kembali terhadap al-Quran dan
al-Sunnah) dengan meninggalkan karya ulama terdahulu, disamping itu
menghancurkan kuburan Rasulullah dan tempat-tempat bersejarah di tanah
Haram.
Dewasa ini para ulama masih berselisih paham tentang bagaimana NU memposisikan Asawaja, apakah Aswaja sebagai Madzhab atau sebagai Manhaj seperti gugatan Prof. KH. Said Agil Siradj terhadap konsep Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari tentang Aswaja yang dianggap tidak relevan lagi untuk gerasi saat ini. Penulis berkeyakinan bahwa Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sudah sangat bijaksana meletakkan konsep Aswaja, beliau sama sekali tidak seyogyangnya meletakkan Aswaja sebagai madzhab.
Beliau
dengan sifat bijaknya dalam mengembangkan Islam di Indonesia khususnya
di pulau Jawa meletakkan Aswaja sebagai doktrin madzhab dalam kondisi
tertentu dan juga dalam Manhaj dalam kondisi yang lain agar
tidak terjadi benturan antara generasi tua dan generasi muda dalam kubu
NU.
Apabila Aswaja dipahami sebagai madzhab seutuhnya, maka gerakan NU bersifat ekslusif yang akan berdampak kekakuannya dalam merespon fenomena dan keadaan social politik global, NU tidak mampu berhadapan dengan dunia teknologi dan globalisasi. Begitupula sebaliknya apabila Aswaja dipahami sebagai manhaj al fikir seutuhnya, gerakan NU akan liberal dan tidak memiliki asas yang kuat untuk mempertahankan tradisi lama yang baik.
Oleh karena itu, paradigma Aswaja dalam menatap visi NU ke depan
di tengah terjadinya percaturan politik di berbagai kehidupan, Aswaja NU
merupakan perpaduan antara doktrin madzhab dan doktrin manhaj al-fikir.
Dua metode ini bagaikan dua sayap burung yang akan membawa NU terbang
membangun peradaban menuju Negara yang berada dalam Pammasena Dewatae.
Kemudian yang menjadi pertanyaan kapan NU menerapkan Aswaja sebagai doktrin mazhab dan kapan Aswaja sebagai Manhaj al-fikir. Ketika berhubungan dengan persoalan yang menyangkut tentang ibadah, muamalah, munakahat dan jinayah yang sudah terdapat dalam rumusan kitab-kitab klasik yang dianggap mu’tabar, didukung dalil-dalil nas yang valid, disitulah kita terapkan Aswaja sebagai doktrin madzhab.
Tetapi ketika
dihadapkan dengan persoalan baru yang tidak terdapat pada rumusan kitab
klasik yang menyangkut kepentingan umat, berhadapan tentang isu global,
seperti HAM, status non muslim dan muslim, menyikapi politik tingkat
nasional dan internasional, menyikapi kondisi tersebut maka tentu saja
Aswaja sebagai doktrin madzhab tidak akan bisa menyelesaikannya tapi
Aswaja sebagai Manhaj al-fikir bisa dijadikan sebagai pisau
untuk menganalisa kondisi tersebut di atas.
Maros, 25 Pebruari 2015
SAFARUDDIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar