Jumat, 29 Januari 2016

Kampungku



Sahabat, engkau mungkin belum pernah mendengar nama kampungku? Mungkin belum, tapi biarlah, memang kampungku tidak terlalu populer di semua daerah se-Indonesia. Desa Tukamasea — sekitar 8 – 10 kilo meter dari Bandara Internasional Sultan Hasanudin Makassar. Sekarang engkau mungkin sudah tahu sekilas tentang kampungku, di sini berdiri kokoh satu perusahaan besar yang dibangun oleh Aksa Mahmud. Kamu tahu bapak Aksa Mahmud, bukan? Beliau adalah adik ipar Wakil Presiden Indonesia saat ini, H. Muh. Jusuf Kalla atau sering dipanggil bapak Ucu.

Sahabat, 23 tahun yang lalu kampungku masih berupa pemukiman yang sunyi, akses jalan antar dusun satu dengan dusun yang lain masih sangat sulit. Rawa dan hutan masih terbentang luas menutupi buminya sehingga teramat sulit melihat hewan lalu-lalang dari atas helikopter. Sulit melihat ada kendaraan roda dua maupun roda empat di sini beraktifitas, apalagi jalan yang masih terputus-putus ikut memberi gairah kepada warga kampung di sini untuk menunggang kuda ke pasar rakyat.

Lalu tahun 1995 perusahaan Semen tersebut dibangun oleh bapak Aksa dan tahun 1999 perusahaan semen kedua di Sulsel ini mulai berproduksi. Sejak tahun inilah, banyak pendatang berdatangan ke kampung tempat aku dilahirkan ini, berbagai macam suku dan budaya hadir dan berbaur ­— mungkin bercampur dengan budaya lokal di sini. Sejak itu pula, akses jalan sudah mulai baik, pihak perusahaan membangun betonisasi meskipun hanya sampai di pasar rakyat sekitar 700 meter dari arah Utara pabrik .

Mungkin itu bukanlah hal yang patut untuk dikagumi atau dicibir. Setidaknya begitulah perjalanan sederhana kampungku dari kampung yang sama sekali tidak dikenal menjadi kampung yang dikenal dan mungkin akan dikenang sebagai wilayah dibangunnya industri pengeksploitasi alam ketiga setelah tambang Nikel dan Minyak.

Sahabat, saat ini hampir semua penghuni di kampung adalah suku Bugis. Adapun suku Makassar hanya sebagian kecil dari naturalisasi yang terjadi saat musim kawin. Meskipun kedua suku ini seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan di Sulawesi Selatan tapi perbedaan keduanya tetap mencolok, terutama saat bercerita — suku Bugis halus dan Suku Makassar cukup keras dan kasar. Di kampung ini kedua suku terbesar di Maros tersebut saling berbaur dan melebur meskipun tak disangkal, bahasa Bugis menjadi bahasa sehari-hari dan bahasa rumah tangga.

Kampung ini terhitung luas untuk status desa di kecamatan Bantimurung, panjangnya sekitar  tiga kilometer dan lebarnya sekitar satu kilometer. Saat ini jumlah penduduk di kampung subur ini sekitar 5700 jiwa, jumlah yang cukup pantastis tapi di kampung ini tidak ditemukan ada rumah yang berdempetan terlalu rapat kecuali di Dusun Amessangeng.

Sahabat, yang hendak kuceritakan kepadamu ialah keadaan pemuda dalam kampungku, pemuda di sini terhitung dinamis dan edukatif. Hampir semua pemuda di kampungku setelah menyelesaikan studinya di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas), lalu melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Ada banyak macam perguruan tinggi dan jurusan yang dipilih sebagai tempat menempah diri. Ada di kota Maros dan banyak pula di kota Makassar. Hanya sebagian kecil pemuda yang tinggal dirumahnya memperturutkan kemalasannya, sebagiannya lagi berangkat merantau ke kampung orang.

Di kampungku, para pemuda yang menghibahkan waktunya selama kurang lebih empat tahun, tidak sekedar menghabiskan waktunya di bangku kuliah, mereka banyak memporsir waktunya di berbagai organisasi-organisasi nasional seperti PMII, HMI dan IMM, merekapun tak lengah untuk bergabung di ORGANDA (organisasi daerah) seperti HIPMI MR (Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia Maros Raya). Di sini, mereka banyak membuat kelas-kelas yang informal bahkan kelas nonformal untuk melakukan transformasi pengetahuan dan pengalaman —  bagi mereka setiap orang adalah guru dan setiap ruang adalah kelas bahkan alam bebas adalah mahagurunya.

Sahabat, dari proses panjang yang dilewati di kampus dan di berbagai organisasi, pemuda di kampungku menjadi pemuda yang kritis dan cerdas. Hampir semua pemuda, hampir semua yang memilihkan nasibnya untuk menjadi mahasiswa. Di berbagai pertemuan, baik di kampus, di kantor desa, di kantor camat bahkan di pertemuan-pertemuan di tingkat daerah sekalipun, pemuda dari desa Tukamasea selalu ikut berkontribusi.

Sahabat, cerita tersebut di atas adalah masa lalu, saya sebut sebagai masa keemasan pemuda di kampungku. Atau masa kejayaan dalam salah satu film sebagai adaptasi kisah Nabi Sulaiman. Cerita itu sudah ditelan oleh zaman dan aku melihat generasi kedua dan ketiga tak urung menyelamatkan masa kejayaan tersebut. Bahkan para pelaku masa kejayaan yang sudah pada sukses menyelesaikan studinya kelihatannya sudah apatis, kalau tidak boleh disebut tidak bertanggungjawab atas generasi kedua dan ketiga ini. Mereka masing-masing sibuk mengurusi diri sendiri dan tempat berlabuhnya.

Itu tidak salah karena sudah menjadi kewajiban setiap sarjana muda untuk mempergunakan ilmunya pada muaranya masing-masing. Tidak bisa disangkal bahwa salah satu tolok ukur kesuksesan seorang mantan mahasiswa adalah ketika memperoleh muara berlabuh yang baik  tidak terlalu banyak mengeluarkan keringat untuk memperoleh uang dan saya kira itu sudah digapai oleh masing-masing pemuda angkatan 2007 dan 2008 tersebut.

Sahabat, persoalannya kemudian adalah hari ini. Kelompok pemudapun terbentuk di kampungku, produk zaman yang tentu dengan karakter yang berbeda dengan angkatan sebelumnya. Aku lengah melihat semangat mereka berkuliah dengan bersungguh-sungguh bahkan aku jarang melihat gelora mereka untuk beroganisasi sebagai mana generasi sebelumnya. Selain itu kurang diantara mereka relah berletih-letih mengumpulkan uang untuk biaya kuliah atau setidaknya untuk biaya transportasi ke kampus masing-masing, mereka bergantung penuh pada orang tuanya.

Aku melihat pemuda di kampungku yang aktifitasnya hanya kuliah, menjadikan ritual pendidikan itu sebagai pengisi waktu nganggur. Daripada nganggur mending kuliah sambil cari-cari peluang kerja, ungkapan ini yang kerap dilontarkan sebagian diantara mereka  pada akhirnya beberapa diantara mereka gugur di tengah jalan. Sebagian lagi kerja sambil kuliah, itu tidak masalah dan bahkan terakhir, pilihan ini yang sangat trend di kalangan pemuda. Tapi aku pesimis orentasi kuliah dengan mode seperti itu bukan pada prosesnya apalagi ilmunya melainkan pada Ijasa dan Transkrip nilainya. Kedua legalisasi pendidikan strata satu ini kemudian akan digunakan untuk perbaikan nasib di tempat kerja.

Minat berorganisasi pemuda saat ini di kampungku semakin payah. Proses menggembleng hati, pikiran dan prilaku ini cepat tinggalkan sehingga terlampau sulit menemukan pemuda yang bermental bajak yang banyak hanyalah pemuda dengan mental krupuk kriuk dan pesimis dengan masa depannya. Selebihnya terlampau banyak anak muda yang menutup masa pendidikannya sampai di SMP dan SMA kemudian menghabiskan waktu malamnya di pos ronda sampai subuh dan waktu siangnya di atas kasur. Lalu harapan apa yang bisa digantungkan pada pemuda seperti ini? Tentu jawabannya sangat buyar.

Sahabat, aku bukan bermaksud menghumbar kepadamu tentang keadaan pemuda yang berhianat pada syarat peradaban besar di setiap kampung, daerah atau bangsa. Aku sengaja menceritakan ini kepadamu agar kesadaran itu lahir kembali, muncul mendobrak dan mengobrak-abrik dinding pemisah antara pemuda dan masa depan kampungku. Aku selalu optimis kalau-kalau masa depan sebuah bangsa dan masa depan kampungku ada di pundak semua pemuda. Yaitu pemuda yang menghabiskan waktunya untuk membentuk hati, fikiran dan lakunya dengan matra pengetahuan.

Pendek kata aku merindukan gelanggang yang diisi pemuda-pemuda cerdas dan kritis, berperang dengan logika menggunakan intrik-intrik intelek. Adu logika dalam ruang-ruang diskusi, setiap perbedaan adalah lawan lawan dalam forum tapi teman akrab di luar padang. Aku sesak menanti itu, aku gerah mengharap moment itu.


Indonesia, 20 Januari 2016

SAFARUDDIN

Tidak ada komentar: