CSR (Corporate
Social Responsibility) merupakan istilah yang digunakan untuk memaknai
tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar
perusahaan. Yah, mungkin anda sudah tahu itu dan juga sudah lama mengetahui
kalau-kalau istilah ini rame dibicarakan sejak tahun 90-an dimana PT. Freeport
Indonesia (PTFI) secara politis di era Soeharto menjadi sorotan utama.
Istilah CSR sudah
bukan barang langka di masyarakat, bahkan masyarakat paling awan sekalipun
sudah sering bicara tentangnya. Setidaknya ini merupakan salah satu dampak
positif paling nyata dari perkembangan teknologi dan informasi dan juga sebagai
bukti bahwa Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi
public (semoga saya tidak salah) sudah terjawantah dalam sikap kritis
masyarakat luas.
Bagi saya,
mengetahui konsep tanggung jawab perusahaan tersebut amatlah penting untuk
masyarakat secara umum karena terlaksana atau tidak terlaksanannya konsep tersebut
akan berdampak langsung ke masyarakat. Sehingga mencermati, memikirkan dan atau
melakukan studi banding ke perusahaan yang dipandang sudah menerapkan CSR dengan
baik, sangatlah penting dilakukan.
Nah, tentu saya dan
anda tidak ingin pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang CSR keluar dari
jati dirinya yang sebenarnya. Karena jika itu yang terjadi, dapat dipastikan
masyarakat akan sinis menilai keberadaan sebuah perusahaan di daerahnya dan
klimaksnya adalah mereka akan berpotensi berfikir ekstrim serta bertindak
criminal. Kalau ini yang terjadi maka pihak perusahaan dan masyarakat itu
sendiri akan digandrungi kerugian, baik kerugian berupa materi maupun kerugian sosial.
Pertama-tama CSR
harus difahami tidak hanya menjadi kewajiban sosial perusahaan, lebih daripada
itu, CSR telah ditingkatkan derajat normanya oleh pemerintah menjadi kewajiban
hukum sebagaimana amanat UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Dalam penjelasan Pasal 62 ayat (1) sebagai berikut :
“Berdasarkan
ketentuan ini RUPS dapat menetapkan bahwa sebagian atau seluruh laba bersih
akan digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, atau pembagian
lain seperti tansiem, CADANGAN DANA SOSIAL dan lain-lain, atau . . . “.
Kemudian UU tersebut
di atas diganti dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-undang terakhir ini tidak lagi hanya MENYARANKAN Perseroan Terbatas
untuk menyejahterakan masyarakat, namun UU ini MEWAJIBKAN Perseroan Terbatas
untuk berperan aktif dalam menyejahterakan masyarakat sebagaimana pasal 74 UU
Nomor 40 tahun 2007, yang berbunyi sebagai berikut :
“Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam WAJIB melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan . . .”
Jika anda ada
keinginan menyempatkan waktunya yang sedikit dengan membaca tuntas UU Nomor 40
tahun 2007 ini, maka akan ditemukan segala macam bentuk program yang berkaitan
dalam pelaksanaan CSR termasuk pembangunan ekonomi masyarakat sebagimana dalam
Pasal 1 angka 3 yang berbunyi sebagai berikut :
“Tanggung jawab
sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan EKONOMI berkelanjutan yang bermanfaat, baik bagi PERSEROAN sendiri,
KOMUNITAS setempat, maupun MASYARAKAT pada umumnya.”
Anda dan saya
setidaknya baru saja mengetahui landasan hukum yang sahih tentang CSR dan tentu
menjadi kewajiban anda dan saya juga untuk menyampaikan ini kepada masyarakat
umum. Ini urjen untuk dilakukan sebagai bentuk pencerdasan dan pencerahan hukum
bagi masyarakat, setidaknya mereka tahu bahwa ada UU yang mengatur tentang CSR.
Amunisi selanjutnya
yang sarat harus diketahui oleh anda, saya dan masyarakat umum, adalah
pertimbangan apa sehingga pemerintah dan juga dunia menyarankan bahkan
mewajibkan perseroan untuk melaksanakan CSR? Pertanyaan ini tidak boleh dijawab
dengan bahasa bisnis atau dipandang dengan kacamata perseroan karena dengan
begitu jawaban yang diperoleh akan hambar. Dan, kalaupun dari jawaban itu
kemudian perusahaan menjalankan kewajibannya tersebut, boleh jadi hanya merupakan
strategi moral untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan alias pencitraan.
Sebenarnya gerakan
modernisasi telah menginspirasi gerakan sosial untuk menyelamatkan lingkungan
manusia. Gerakan-gerakan sosial yang berbasis lingkungan dan kemanusiaan muncul
dalam tingkat global dan melahirkan konstruksi baru atas peran masyarakat,
pemerintah dan perusahaan dalam menciptakan peradaban dunia yang lebih
harmonis. Perilaku dari salah satu pihak yag merugikan lingkungan tidak hanya
mempengaruhi lingkungan di sekitarnya, melainkan juga mengancam keberlangsungan
kehidupan seluruh umat manusia.
Karena alasan
sederhana tersebutlah sehingga wajib bagi perseroan sebagai PELAKU perusak
lingkungan untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap lingkungan dan manusia
yang ada di sekitar perusahaan. Jadi kalau masyarakat mengajukan pertanyaan
polos tentang “mengapa perseroan harus ber CSR? Jawabannya adalah karena
aktifitas perseroan MERUGIKAN lingkungan dan MENGANCAM keberlangsungan hidup manusia.
Tidak cukup sampai
di situ, focus informasi penting yang juga harus anda dan saya ketahui adalah
siapa yang bertanggung jawab untuk merealisasikan CSR? Di sini, jika jawaban
kita keliru, maka kita belum penuh dan belum siap melakukan advokasi CSR dengan
ideal tapi jika jawaban kita tepat, mari berjalan selamatkan lingkungan dan
keberlangsungan hidup manusia.
Asumsi awam dan naif
kebanyakan orang, semoga bukan termasuk anda, adalah CSR merupakan tanggung
jawab penuh perseroan. Ini salah satu pemahaman yang amatir dan sudah ditinggal
telak oleh perkembangan industry. Jika tanggung jawab CSR ditumpahkan
sepenuhnya kepada perseroan maka harapan penyejahteraan masyarakat melalui
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan ini tidak akan kunjung terealisasi.
Kenapa? Karena pihak perusahaan terlalu sibuk untuk urusan operasional produksi
dan pemasaran produknya. Kalaupun sudah ada departemen yang khusus memikirkan
dan melaksanakan amanat UU tersebut, dapat dipastikan hasilnya tidak akan
maksimal.
Di sisih lain, pada awal-awal
pelaksanaan amanat UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,
pemerintahan orde baru cenderung lebih merasa berhak untuk mengelola CSR
perusahaan. Ini masing sering diadopsi dan diperaktekkan beberapa daerah .
Asumsi yang kerap digunakan untuk pembenaran adalah perencanaan pembangunan
Negara dan daerah sepenuhnya diketahui dan dilaksanakan oleh pemerintah. Namun
dalam pelaksanaannya ternyata tidak demikian halnya, program dan kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah melalui program CSR selalu identik dengan pencitraan,
seremonial dan elitis.
Tentu masih ada
kelompok yang saya belum singgung, yaitu masyarakat sipil atau civil society.
Kadang-kadang masyarakat sipil merasa kalau-kalau pihak perseroan tidaklah
memperhatikan tanggung jawab sosialnya. Pemerintah juga demikian tidak becus
menjemput kewajiban perusahaan tersebut, sehingga kadang-kadang masyarakat
melalu lembaga kemasyarakatan yang dibentuk merasa berhak untuk mengelola CSR
tersebut.
Tentu ketiga-tiganya
berhak bahkan bertanggung jawab dalam perealisasian CSR perseroan, tapi jika
masing-masing ingin jalan sendiri-sendiri untuk mengelolannya, percayalah
program yang tujuannya sangat baik bagi masyarakat tersebut tidak bisa berjalan
maksimal.
Perusahaan butuh
masyarakat, masyarakatpun demikian. Perusahaan butuh pemerintah, pemerintah
juga pasti butuh perusahaan, apalagi masyarakat. Ketiga kelompok terakhir
selalu akan berdiri dan duduk berdampingan dan ketiganya bisa saling
membesarkan. Dan untuk menjalankan program CSR dengan maksimal dan sebagaimana
peruntukannya, maka perusahaan, pemerintah setempat dan masyarakat melalui
lembaga kemasyarakatan harus bersinergi.
Indonesia, 22
Januari 2015
SAFARUDDIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar