Kamis, 21 Januari 2016

CSR dan Permasalahannya

CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan istilah yang digunakan untuk memaknai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar perusahaan. Yah, mungkin anda sudah tahu itu dan juga sudah lama mengetahui kalau-kalau istilah ini rame dibicarakan sejak tahun 90-an dimana PT. Freeport Indonesia (PTFI) secara politis di era Soeharto menjadi sorotan utama.

Istilah CSR sudah bukan barang langka di masyarakat, bahkan masyarakat paling awan sekalipun sudah sering bicara tentangnya. Setidaknya ini merupakan salah satu dampak positif paling nyata dari perkembangan teknologi dan informasi dan juga sebagai bukti bahwa Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi public (semoga saya tidak salah) sudah terjawantah dalam sikap kritis masyarakat luas.

Bagi saya, mengetahui konsep tanggung jawab perusahaan tersebut amatlah penting untuk masyarakat secara umum karena terlaksana atau tidak terlaksanannya konsep tersebut akan berdampak langsung ke masyarakat. Sehingga mencermati, memikirkan dan atau melakukan studi banding ke perusahaan yang dipandang sudah menerapkan CSR dengan baik, sangatlah penting dilakukan.

Nah, tentu saya dan anda tidak ingin pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang CSR keluar dari jati dirinya yang sebenarnya. Karena jika itu yang terjadi, dapat dipastikan masyarakat akan sinis menilai keberadaan sebuah perusahaan di daerahnya dan klimaksnya adalah mereka akan berpotensi berfikir ekstrim serta bertindak criminal. Kalau ini yang terjadi maka pihak perusahaan dan masyarakat itu sendiri akan digandrungi kerugian, baik kerugian berupa materi maupun kerugian sosial.

Pertama-tama CSR harus difahami tidak hanya menjadi kewajiban sosial perusahaan, lebih daripada itu, CSR telah ditingkatkan derajat normanya oleh pemerintah menjadi kewajiban hukum sebagaimana amanat UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dalam penjelasan Pasal 62 ayat (1) sebagai berikut :

“Berdasarkan ketentuan ini RUPS dapat menetapkan bahwa sebagian atau seluruh laba bersih akan digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, atau pembagian lain seperti tansiem, CADANGAN DANA SOSIAL dan lain-lain, atau . . . “.

Kemudian UU tersebut di atas diganti dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang terakhir ini tidak lagi hanya MENYARANKAN Perseroan Terbatas untuk menyejahterakan masyarakat, namun UU ini MEWAJIBKAN Perseroan Terbatas untuk berperan aktif dalam menyejahterakan masyarakat sebagaimana pasal 74 UU Nomor 40 tahun 2007, yang berbunyi sebagai berikut :

“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam WAJIB melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan . . .”

Jika anda ada keinginan menyempatkan waktunya yang sedikit dengan membaca tuntas UU Nomor 40 tahun 2007 ini, maka akan ditemukan segala macam bentuk program yang berkaitan dalam pelaksanaan CSR termasuk pembangunan ekonomi masyarakat sebagimana dalam Pasal 1 angka 3 yang berbunyi sebagai berikut :

“Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan EKONOMI berkelanjutan yang bermanfaat, baik bagi PERSEROAN sendiri, KOMUNITAS setempat, maupun MASYARAKAT pada umumnya.”

Anda dan saya setidaknya baru saja mengetahui landasan hukum yang sahih tentang CSR dan tentu menjadi kewajiban anda dan saya juga untuk menyampaikan ini kepada masyarakat umum. Ini urjen untuk dilakukan sebagai bentuk pencerdasan dan pencerahan hukum bagi masyarakat, setidaknya mereka tahu bahwa ada UU yang mengatur tentang CSR.

Amunisi selanjutnya yang sarat harus diketahui oleh anda, saya dan masyarakat umum, adalah pertimbangan apa sehingga pemerintah dan juga dunia menyarankan bahkan mewajibkan perseroan untuk melaksanakan CSR? Pertanyaan ini tidak boleh dijawab dengan bahasa bisnis atau dipandang dengan kacamata perseroan karena dengan begitu jawaban yang diperoleh akan hambar. Dan, kalaupun dari jawaban itu kemudian perusahaan menjalankan kewajibannya tersebut, boleh jadi hanya merupakan strategi moral untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan alias pencitraan.

Sebenarnya gerakan modernisasi telah menginspirasi gerakan sosial untuk menyelamatkan lingkungan manusia. Gerakan-gerakan sosial yang berbasis lingkungan dan kemanusiaan muncul dalam tingkat global dan melahirkan konstruksi baru atas peran masyarakat, pemerintah dan perusahaan dalam menciptakan peradaban dunia yang lebih harmonis. Perilaku dari salah satu pihak yag merugikan lingkungan tidak hanya mempengaruhi lingkungan di sekitarnya, melainkan juga mengancam keberlangsungan kehidupan seluruh umat manusia.

Karena alasan sederhana tersebutlah sehingga wajib bagi perseroan sebagai PELAKU perusak lingkungan untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap lingkungan dan manusia yang ada di sekitar perusahaan. Jadi kalau masyarakat mengajukan pertanyaan polos tentang “mengapa perseroan harus ber CSR? Jawabannya adalah karena aktifitas perseroan MERUGIKAN lingkungan dan MENGANCAM keberlangsungan hidup manusia.

Tidak cukup sampai di situ, focus informasi penting yang juga harus anda dan saya ketahui adalah siapa yang bertanggung jawab untuk merealisasikan CSR? Di sini, jika jawaban kita keliru, maka kita belum penuh dan belum siap melakukan advokasi CSR dengan ideal tapi jika jawaban kita tepat, mari berjalan selamatkan lingkungan dan keberlangsungan hidup manusia.

Asumsi awam dan naif kebanyakan orang, semoga bukan termasuk anda, adalah CSR merupakan tanggung jawab penuh perseroan. Ini salah satu pemahaman yang amatir dan sudah ditinggal telak oleh perkembangan industry. Jika tanggung jawab CSR ditumpahkan sepenuhnya kepada perseroan maka harapan penyejahteraan masyarakat melalui tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan ini tidak akan kunjung terealisasi. 
Kenapa? Karena pihak perusahaan terlalu sibuk untuk urusan operasional produksi dan pemasaran produknya. Kalaupun sudah ada departemen yang khusus memikirkan dan melaksanakan amanat UU tersebut, dapat dipastikan hasilnya tidak akan maksimal.

Di sisih lain, pada awal-awal pelaksanaan amanat UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, pemerintahan orde baru cenderung lebih merasa berhak untuk mengelola CSR perusahaan. Ini masing sering diadopsi dan diperaktekkan beberapa daerah . Asumsi yang kerap digunakan untuk pembenaran adalah perencanaan pembangunan Negara dan daerah sepenuhnya diketahui dan dilaksanakan oleh pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya ternyata tidak demikian halnya, program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah melalui program CSR selalu identik dengan pencitraan, seremonial dan elitis.

Tentu masih ada kelompok yang saya belum singgung, yaitu masyarakat sipil atau civil society. Kadang-kadang masyarakat sipil merasa kalau-kalau pihak perseroan tidaklah memperhatikan tanggung jawab sosialnya. Pemerintah juga demikian tidak becus menjemput kewajiban perusahaan tersebut, sehingga kadang-kadang masyarakat melalu lembaga kemasyarakatan yang dibentuk merasa berhak untuk mengelola CSR tersebut.
Tentu ketiga-tiganya berhak bahkan bertanggung jawab dalam perealisasian CSR perseroan, tapi jika masing-masing ingin jalan sendiri-sendiri untuk mengelolannya, percayalah program yang tujuannya sangat baik bagi masyarakat tersebut tidak bisa berjalan maksimal.

Perusahaan butuh masyarakat, masyarakatpun demikian. Perusahaan butuh pemerintah, pemerintah juga pasti butuh perusahaan, apalagi masyarakat. Ketiga kelompok terakhir selalu akan berdiri dan duduk berdampingan dan ketiganya bisa saling membesarkan. Dan untuk menjalankan program CSR dengan maksimal dan sebagaimana peruntukannya, maka perusahaan, pemerintah setempat dan masyarakat melalui lembaga kemasyarakatan harus bersinergi.


Indonesia, 22 Januari 2015

SAFARUDDIN
  
   


Tidak ada komentar: