Setiap orang yang hari ini
menari-nari, memperoleh status tinggi,
jabatan dan harta berlimpah, sudah menjadi garis tangannya. Sebagian orang atau
orang kebanyakan hidup dalam kemiskinan, terjerat oleh kebutuhan yang tak kuasa
dipenuhi, dicekik oleh keinginan yang tak bersekutu dengan penghasilan adalah
garis tangan, kalau tidak boleh disebut ketetapan pencipta.
Ini pernyataan yang sering
dibenarkan oleh banyak kalangan, bahkan oleh saya sendiri sering membenarkannya
dan mungkin juga oleh saudara/saudariku yang hari ini masih duduk di bangku
sekolah, bangku kuliah maupun pemuda yang belajar dari alam secara
“autodidaktos” yang kebetulan disita
sedikit waktunya oleh tema tulisan ini.
Mungkin pembaca mengira
kalau isi tulisan ini sudahlah apik, seapik penggalan tulisan seorang penulis
ternama seperti Darwis Tere Liye, Hasbiburrahman, Andrea Hirata, Hilman
Hariwijaya dan penulis angkatan kedua dan ketiga lainnya, atau mengira tulisan ini jenis tulisan
dogmatis seperti tulisan-tulisan Pastur saat digugat oleh Galileo pada abad
17 Masehi yang lalu. Atau bisa jadi
menganggap tulisan ini adalah bagian atau jawantah dari fatwa islami seperti Fatwa “rokok makru dan
haram” oleh MUI tahun 2009 yang lalu.
Sama sekali tidak. Tulisan
ini masih sangat polos dan apa adanya bagi saya pun tidak dalam rangka maksud
menggugat ketetapan yang sudah ditentukan pencipta apalagi terjemahan fatwa.
Tulisan ini tidak seindah untaian syair Chaeril Gibran yang bisa menggugah
pembacanya sampai lupa makan malam bahkan lupa tidur sampai fajar menyinsing.
Tidak detail seperti tulisan Pramodya Ananta Toer yang membuat dada bergemuru
dan memompa aliran darah dengan cepat untuk meneriakkan kata Revolusi. Tulisan
ini juga tidak ekstrim seperti tulisan Tan Malaka yang membuat dirinya harus
menghabiskan sebagian usianya di dalam penjara dan di pengasingan.
Pembaca tidak akan mendapati
hurup atau kata bahkan kalimat yang asing dalam tulisan ini. Bukan karena saya
awas pembaca salah memahami atau memaknai isi setiap garis besar perparagraf tulisan
singkat ini, melainkan murni karena keterbatasan hurup, kata dan kalimat di
pembendaharaan penulis.
Dalam tulisan sederhana ini,
pembaca juga tidak akan menemukan dalil-dalil yang bersumber dari Alquran,
Hadits, Ijma dan Qiyas sebagai penopan setiap fargraf. Bukan karena tidak mau
melibatkan “pasal-pasal suci” agama, juga bukan karena saya anti dengan agama
ketika tangan saya menari di atas keyboard
computer. Tapi sekali lagi hanya karena keterbatasan pembendaharaan dalil
oleh penulis.
Saya, dan pembaca mungkin
sering melihat teman atau sahabat atau mungkin juga musuh bebuyutan yang dahulu
saat menjadi sejawat kita, ia orangnya bodoh, malas ke sekolah, sering
mengganggu teman yang duduk di samping kanan dan kirinya bahkan sering melempar
kertas yang dibentuk seperti bola kasti kemudian melempar teman yang ada di
belakang dan di depannya. Saya sering menyebutnya siswa yang usil.
Tapi hari ini ia menempati
posisi yang lebih baik dari kita yang dulu kalem, sabar, rajin belajar, rajin
ke sekolah. Pada saat ulangan dan ujian, daftar pustaka dari jawaban teman
sekelas selalu dari kita, selalu kita yang mengingatkan teman-teman sekelas
untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR)
yang diberikan oleh guru, pokoknya kita yang ter Waowwwww di kelas bahkan di
sekolah.
Ketika ngumpul dengan teman-teman
yang dulu sama-sama menjadi idola semua guru, mungkin kita akan membicarakan
dan mencibir teman kita tersebut. Sebagian dari kita memuji atas prestasi yang
diperoleh orang beruntung itu dan sebagian lagi memuji keberuntungan atau
“nasib kebetulan” yang menjatuhi kehidupannya.
Apa kesimpulan yang sering
muncul dari kasus seperti ini? Bahwa setiap usaha dan taktik akan kalah di
hadapan garis tangan. Bagi saya (tolong tanggalkan dalil-dalil agama) kesimpulan
tersebut cacat dalam kacamata evolusi manapun, garis tangan bukanlah ketetapan.
Garis tangan adalah Output dari
proses Input yang telah dimaksimalkan
oleh seseorang.
Lalu apa yang membedakan
orang beruntung dan orang yang kurang beruntung? Orang beruntung cepat
menyadari dan mengola secara terus-menerus input yang dimiliki untuk memperoleh
output, sedangkan orang yang kurang beruntung lambat menyadari dan tidak
konsisten mengola input yang dimiliki.
Keberuntungan adalah hak
bagi setiap orang. Tapi pengecualiannya ialah orang yang sekolah tanpa
kesadaran, orang yang belajar hanya agar tidak dapat omelan dan ranting bambu
dari orang tua. Orang seperti ini tidak menyadari dan mengola input (kesehatan,
kesempatan, teknologi dan jajan) yang dimilikinya untuk memperoleh output
(semua yang dimiliki oleh orang beruntung). Anda sepakat? Tidak usah sepakat
dengan bergeming, tanyakan saja kepada diri kita masing-masing kalau anda tidak
seperti itu jadinya, berarti anda salah satu dari sedikit orang yang beruntung. Kalau seperti itu adanya, kita
belum terlambat. Kita masih beruntung.
Kita sering latah melihat
orang yang memperoleh keberuntungan, menjadi kelemahan setiap orang hanya
memperhatikan asap dari kejauhan tanpa menengok sedikitpun api yang menjadi
penyebab kebakaran 100 hektar hutan atau memeriksa gesekan bambu yang
menciptakan panas dan api. Pernahkah kita bertanya kepada orang beruntung
tentang rahasia kesuksesannya? Kalau pernah, berarti kita baru saja mengetahui
satu dari sekian banyak rahasia Soekarno,George Washington, dan
pemimpin-pemimpin dunia lainnya dalam mengukir garis tangannya sendiri. Kalau
belum, berhenti mencibir, tanyakan kemereka. Niscaya kita akan memperoleh rahasia
baru.
Lalu bagaimana kaitannya
garis tangan dengan usaha maksimal (tindakan dan doa) dalam memperoleh
keberuntungan. Saya kira inilah sebabnya lembaran nasib seseorang tidak keluar
bersamaan saat muncul dari alam rahim seorang ibu. Nasib bukanlah tulisan yang
jelas terpahat didinding kehidupan seseorang melainkan cahaya yang diperoleh dari sebarapa sering
dan giat seseorang berusaha menyingkap tabir yang gelap.
Sekali lagi saya ingatkan
bahwa tulisan ini bukan dogma apalagi jawantah fatwa, ini hanya bagian terkecil
dari asumsi penikmat kopi di teras rumah, kalau tidak boleh disebut persepsi
atau buah perenungan. Tulisan ini hanya mengajak pembaca untuk tidak menutup
mata dan kesadaran yang dimiliki agar dapat mengukir garis tangan sendiri.
Indonesia, 20 Januari 2016
SAFARUDDIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar