Selasa, 19 Januari 2016

GARIS TANGAN, INPUT DAN OUTPUT PERJUANGAN



Setiap orang yang hari ini menari-nari,  memperoleh status tinggi, jabatan dan harta berlimpah, sudah menjadi garis tangannya. Sebagian orang atau orang kebanyakan hidup dalam kemiskinan, terjerat oleh kebutuhan yang tak kuasa dipenuhi, dicekik oleh keinginan yang tak bersekutu dengan penghasilan adalah garis tangan, kalau tidak boleh disebut ketetapan pencipta.

Ini pernyataan yang sering dibenarkan oleh banyak kalangan, bahkan oleh saya sendiri sering membenarkannya dan mungkin juga oleh saudara/saudariku yang hari ini masih duduk di bangku sekolah, bangku kuliah maupun pemuda yang belajar dari alam secara “autodidaktos” yang kebetulan  disita sedikit waktunya oleh tema tulisan ini. 

Mungkin pembaca mengira kalau isi tulisan ini sudahlah apik, seapik penggalan tulisan seorang penulis ternama seperti Darwis Tere Liye, Hasbiburrahman, Andrea Hirata, Hilman Hariwijaya dan penulis angkatan kedua dan ketiga lainnya,  atau mengira tulisan ini jenis tulisan dogmatis seperti tulisan-tulisan Pastur saat digugat oleh Galileo pada abad 17  Masehi yang lalu. Atau bisa jadi menganggap tulisan ini adalah bagian atau jawantah dari  fatwa islami seperti Fatwa “rokok makru dan haram” oleh MUI tahun 2009 yang lalu.

Sama sekali tidak. Tulisan ini masih sangat polos dan apa adanya bagi saya ­ pun tidak dalam rangka maksud menggugat ketetapan yang sudah ditentukan pencipta apalagi terjemahan fatwa. Tulisan ini tidak seindah untaian syair Chaeril Gibran yang bisa menggugah pembacanya sampai lupa makan malam bahkan lupa tidur sampai fajar menyinsing. Tidak detail seperti tulisan Pramodya Ananta Toer yang membuat dada bergemuru dan memompa aliran darah dengan cepat untuk meneriakkan kata Revolusi. Tulisan ini juga tidak ekstrim seperti tulisan Tan Malaka yang membuat dirinya harus menghabiskan sebagian usianya di dalam penjara dan di pengasingan.

Pembaca tidak akan mendapati hurup atau kata bahkan kalimat yang asing dalam tulisan ini. Bukan karena saya awas pembaca salah memahami atau memaknai isi setiap garis besar perparagraf tulisan singkat ini, melainkan murni karena keterbatasan hurup, kata dan kalimat di pembendaharaan penulis.

Dalam tulisan sederhana ini, pembaca juga tidak akan menemukan dalil-dalil yang bersumber dari Alquran, Hadits, Ijma dan Qiyas sebagai penopan setiap fargraf. Bukan karena tidak mau melibatkan “pasal-pasal suci” agama, juga bukan karena saya anti dengan agama ketika tangan saya menari di atas keyboard computer. Tapi sekali lagi hanya karena keterbatasan pembendaharaan dalil oleh penulis.

Saya, dan pembaca mungkin sering melihat teman atau sahabat atau mungkin juga musuh bebuyutan yang dahulu saat menjadi sejawat kita, ia orangnya bodoh, malas ke sekolah, sering mengganggu teman yang duduk di samping kanan dan kirinya bahkan sering melempar kertas yang dibentuk seperti bola kasti kemudian melempar teman yang ada di belakang dan di depannya. Saya sering menyebutnya siswa yang usil.

Tapi hari ini ia menempati posisi yang lebih baik dari kita yang dulu kalem, sabar, rajin belajar, rajin ke sekolah. Pada saat ulangan dan ujian, daftar pustaka dari jawaban teman sekelas selalu dari kita, selalu kita yang mengingatkan teman-teman sekelas untuk mengerjakan pekerjaan rumah  (PR) yang diberikan oleh guru, pokoknya kita yang ter Waowwwww di kelas bahkan di sekolah.

Ketika ngumpul dengan teman-teman yang dulu sama-sama menjadi idola semua guru, mungkin kita akan membicarakan dan mencibir teman kita tersebut. Sebagian dari kita memuji atas prestasi yang diperoleh orang beruntung itu dan sebagian lagi memuji keberuntungan atau “nasib kebetulan” yang menjatuhi kehidupannya.

Apa kesimpulan yang sering muncul dari kasus seperti ini? Bahwa setiap usaha dan taktik akan kalah di hadapan garis tangan. Bagi saya (tolong tanggalkan dalil-dalil agama) kesimpulan tersebut cacat dalam kacamata evolusi manapun, garis tangan bukanlah ketetapan. Garis tangan adalah Output dari proses Input yang telah dimaksimalkan oleh seseorang.

Lalu apa yang membedakan orang beruntung dan orang yang kurang beruntung? Orang beruntung cepat menyadari dan mengola secara terus-menerus input yang dimiliki untuk memperoleh output, sedangkan orang yang kurang beruntung lambat menyadari dan tidak konsisten mengola input yang dimiliki.

Keberuntungan adalah hak bagi setiap orang. Tapi pengecualiannya ialah orang yang sekolah tanpa kesadaran, orang yang belajar hanya agar tidak dapat omelan dan ranting bambu dari orang tua. Orang seperti ini tidak menyadari dan mengola input (kesehatan, kesempatan, teknologi dan jajan) yang dimilikinya untuk memperoleh output (semua yang dimiliki oleh orang beruntung). Anda sepakat? Tidak usah sepakat dengan bergeming, tanyakan saja kepada diri kita masing-masing kalau anda tidak seperti itu jadinya, berarti anda salah satu dari sedikit orang yang  beruntung. Kalau seperti itu adanya, kita belum terlambat. Kita masih beruntung.

Kita sering latah melihat orang yang memperoleh keberuntungan, menjadi kelemahan setiap orang hanya memperhatikan asap dari kejauhan tanpa menengok sedikitpun api yang menjadi penyebab kebakaran 100 hektar hutan atau memeriksa gesekan bambu yang menciptakan panas dan api. Pernahkah kita bertanya kepada orang beruntung tentang rahasia kesuksesannya? Kalau pernah, berarti kita baru saja mengetahui satu dari sekian banyak rahasia Soekarno,George Washington, dan pemimpin-pemimpin dunia lainnya dalam mengukir garis tangannya sendiri. Kalau belum, berhenti mencibir, tanyakan kemereka. Niscaya kita akan memperoleh rahasia baru.

Lalu bagaimana kaitannya garis tangan dengan usaha maksimal (tindakan dan doa) dalam memperoleh keberuntungan. Saya kira inilah sebabnya lembaran nasib seseorang tidak keluar bersamaan saat muncul dari alam rahim seorang ibu. Nasib bukanlah tulisan yang jelas terpahat didinding kehidupan seseorang melainkan  cahaya yang diperoleh dari sebarapa sering dan giat seseorang berusaha menyingkap tabir yang gelap.

Sekali lagi saya ingatkan bahwa tulisan ini bukan dogma apalagi jawantah fatwa, ini hanya bagian terkecil dari asumsi penikmat kopi di teras rumah, kalau tidak boleh disebut persepsi atau buah perenungan. Tulisan ini hanya mengajak pembaca untuk tidak menutup mata dan kesadaran yang dimiliki agar dapat mengukir garis tangan sendiri.


Indonesia, 20 Januari 2016


SAFARUDDIN
 




Tidak ada komentar: