Senin, 31 Juli 2017

Tuhan Menagih, Ibrahim pun Patuh

Ibrahim bin Azar penuh paham, dirinya dan manusia yang lain diciptakan atas dua tujuan : Menjadi Khalifah di muka bumi dan mengabdi kepada sang pencipta.

Dikisahkan, nabi Ibrahim adalah seorang peternak yang sukses. Menurut kabar, sebagai bentuk kesyukurannya, bapak Islam itu pernah mengorbankan 1000 ekor kambing, 300 ekor sapi 100 ekor unta ke jalan Ilahi. 

Atas ketaatannya itu, manusia, bahkan para Malaikat pun terheran-heran. Malaikat takjub dan kagum atas kepatuhan sang utusan. Ibrahim kemudian menegaskan satu hal :

“Setiap apapun yang membuat aku dekat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga bagiku.
Demi Allah, jika aku mempunyai seorang putra, niscaya aku akan menyembelinya ke jalan Allah. Jika itu bisa membuatku dekat kepada Allah.”

Malaikat menjadi saksi atas janji yang diikrarkan. Janji yang diucapkan di usianya yang menua. Sekitar 85 tahun. Isterinya pun sama, sudah menua. Usianya kisaran 70 tahun-an. Saat bersamaan, Ibrahim sangat mengharapkan seorang anak laki-laki yang akan melanjutkan dakwahnya. Doa-doa pun dipanjatkan agar dikarunia seorang putra yang saleh.

Singkat kisah, Ibrahim menikah dengan Siti Hajar. Seorang perempuan cantik yang baik dan saleha. Dari rahim perempuan rupawan itulah, doa-doanya diijabah. Siti Hajar melahirkan seorang anak laki-laki. Diberi nama Ismail. 

Ismail tumbuh pesat. Wajah yang rupawan dan kepribadiannya yang baik, melengkapi kebahagiaan Ibrahim. Suatu waktu, tiba lah waktunya, tuhan “menagih” janji. 

Sebanyak tiga kali berturut-turut dirinya diperintahkan untuk menyembeli anaknya. Memotong leher Ismail yang baru berusia sekitar 13 tahun.

Ibrahim bertafakkur. Betapa sedih batinnya. Bagaimanapun dirinya adalah seorang ayah. Ayah yang menyayangi anaknya. Seperti ayah yang lain. Tapi dia juga tidak mungkin mengingkari janjinya. Janji seorang hamba yang taat pada penciptanya.

Ibrahim menimbang baik-baik. Dua perasaan bercampur dalam batinnya : dirinya seorang ayah dan dirinya seorang hamba. Ibrahim bangkit. Hatinya penuh. Yang harus dilakukan hanya satu :Tunaikan perintah tuhan. 

Lalu diajaklah Ismail ke Tanah Minah. Di sana lah Ibrahim menuntaskan janjinya. Di Tanah Mina ia akan menyembeli putranya sendiri. Di sanalah Ibrahim menegaskan : semua akan dikorbankan demi ketaatannya pada tuhannya.

Tukamasea, 31 Juli 2017

Jumat, 14 Juli 2017

Perppu 02 2017 & Ketegasan Pemerintah


Pemerintah memperlihatkan nyali dan kewenangannya. Tanggal 10/07/17 lalu, Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang bernomor 02 tahun 2017 tentang Ormas.

Perppu ini menyempurnakan UU sebelumnya tentang Ormas. Guna memberi hak mutlak pada pemerintah : 

Salah satunya, pemerintah berwenang melegalisasi Ormas sekaligus membubarkannya. Tentu dengan ketentuan dan syarat-syarat yang termaktub dalam peraturan tersebut.

Alas hukum pemerintah ini sekaligus jadi tanda atas petanda : Melihat corak politik dalam dan luar negeri dua tahun terakhir, ada beberapa kelompok yang potensi mengancam persatuan dan kesatuan, ada jamaah yang sedang menghadang NKRI. 

Zalim kah pemerintah? Tentu ada kelompok yang merasa dizalimi. Merasa hak berdemokrasinya dibatasi. Banyak kelompok yang menyayangkan putusan itu. Tapi tidak sedikit pula yang mengapresiasi bahkan mendukung tindakan tegas pemerintahan Jokowi itu. 

Selalu begini adanya, di dunia antah-berantah ini, kebijakan pemerintah senantiasa menuai sepasang pendapat : pro dan kontra. Itu wajar-wajar saja selama masih sewajarnya.

Kebijakan ini Sedikitnya mengedukasi banyak pihak : 

Demokrasi tidak mengangkang semaunya. Tetap ada hukum yang menerungkunya. Ia bukan tujuan akhir melainkan alat untuk mencapai tujuan. 

Demokrasi tidak boleh jadi pembenaran untuk mencederai simbol negara apalagi bermaksud menggantinya dengan ideologi lain. Pemerintah berkewajiban melawan dan mengantisipasi agresi yang berpotensi mengoyak negara.

Kebebasan tidak berkonotasi dengan keliaran atau semau-maunya. Jarak antara kebebasan kelompok satu dengan lainnya adalah hak masing-masing. Bukan hak sekelompok saja. 

Negeri ini bukan hutan liar. Di sini semua pihak harus sepakat. Negeri ini bertuan lengkap dengan perangkap hukumnya. Tidak dibenarkan kelompok satu menyerang kelompok lainnya. Apapun dalihnya. 

Maros, 14 Juli 2017

Minggu, 09 Juli 2017

MOTIF

Kemarin, waktu teman-teman aktifis di Maros pertama kali menyerang Mall Batangase, saya salah seorang warga Maros yang tidak sepaham. Kenapa? Karena motifnya tidak bisa diterima akal sehat saya. Mereka menolak patung dan gambar-gambar yang terpajang di sana. 

Alasannya karena bersinggungan dengan Aqidah agama setempat dan Budaya lokal. Saya berusaha menerima alasan itu dengan mempertimbangkan sisi religi dan . Tapi tidak bisa. Pikiran saya menolak setuju. Itu pikiran kolot.

Barulah saya sepaham dengan aksi teman-teman meneriaki mall pertama di Maros itu karena alasan ANDAL dan Administrasinya yang belum tuntas. Itu tidak bisa dibenarkan apalagi didukung. 

Tidak boleh dibiarkan investor manapun membangun dan mengoperasionalkan perusahaannya tanpa menyelesaikan administrasinya. Itu tindakan VOC namanya. 

Salah seorang teman bertanya, kenapa di facebook saya gencar mengkritik “agama” sendiri. Menolak tindakan-tindakan FPI dan Imamnya, menyerang HTI dan mengkritik Felix Siauw dan Jonru. Segitu bencikah kamu kepada Islam? Saya bilang ini bukan soal benci atau tidak. Bukan itu motif saya. Bukan. Saya Islam tapi saya juga Indonesia, saya cinta Islam juga cinta Indonesia. 

Aksi-aksi mengatas-namakan agama dan bisa mencederai nama baik Islam itu sendiri tentu tidak bisa dibiarkan. Tindakan FPI tidak mencontohkan Islam Rahmat, sering marah-marah. HTI, partai politik internasional itu mengusung konsep Khilafah. ini melawan Pancasila namanya. Sedangkan Felix dan Jonru, anda bisa menilai sendiri cuitan dan tulisan-tulisannya. Itu sebabnya saya mengkritik “mereka”.

Dulu, waktu ramai-ramainya kasus “penistaan agama” oleh Ahok. Saya kerap menulis di walk akun pribadi yang terkesan membela mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Bahkan salah seorang teman menempeli saya cap “pembela Ahok. Ahoker. Padahal tidak. Siapa pula Ahok itu mau dibela. Dan siapa juga diri ini mau membela orang lain.

Tapi menghakimi seseorang melebihi kesalahannya tentu tidak lah bijak. Saya sering mengulang kalimat teman saya ini. Bukan soal Ahok semata. Ini soal sikap proporsional kita dalam menyikapi masalah orang lain. Adil. Kata Pramodya Ananta Toer harus adil sejak dalam pikiran. Dan tentu tidak boleh perbedaan agama membuat kita tidak adil pada orang lain.

Begitulah. Sikap boleh sama tapi motif selalu berbeda dimana-mana. Anda boleh jalan berdua bersama saudara kembar anda. Bergandengan tangan. Sama jenis kelamin. Keduanya memakai pakaian serupa, sepatu sewarna. Model rambut persis. Kedua-duanya pakai kawat gigi, arahnya juga sama-sama ke pasar. Tapi belum tentu tujuan dan motifnya ke pasar sama. Di hal ini kita selalu berbeda dengan orang lain.

Tukamasea, 02 Juli 2017

  

  

Perang Melawan Gerakan Fundamentalisme

Masing-masing agama punya dua wajah yang berbeda. Yang satu berwajah teduh, satunya lagi berwajah masam, bahkan kadang-kadang menakutkan. Keduanya sama-sama mengklaim diri benar, dan tujuannya benar pula.

Seperti agama lain, secara umum Islam juga dapat dibagi menjadi dua wajah atau sekte. Sekte pertama, menganggap Islam adalah konsep yang sudah selesai, realitas harus tunduk pada literal kitab Suci secara tekstual. Kebenaran sudah terpahat abadi di situ, manusia tinggal menjalankan petunjuk teks dalam kitab langit itu.

Sekte lainnya memandang Islam tidak sesederhana itu, selain menjadi agama wahyu, Islam juga dipandang sebagai agama histori. Ayat-ayat langit turun terpotong-potong, mengikuti diktum-diktum sejarah yang berjalan dan menjawab persoalan yang melilit masa kenabian. 

Pengkajian dan penafsirannya tentang teks ayat suci turut melibatkan peran akal dan konteks, sehingga tidak kaku mengamalkan perintah ayat. Kelompok terakhir ini banyak mencocokkan teks dengan kejadian yang memicu petunjuk ilahi itu turun.

Dari sekte pertama, lahir gerakan yang akhir-akhir ini “dijuluki” Gerakan Fundamentalisme. Gerakan yang kerap menggunakan teks-teks suci Al-Quran secara verbal untuk menindaki apa yang menurut kacamata mereka perbuatan maksiat. Kelompok ini tak sungkan-sungkan menempuh jalan kekerasan untuk memperjuangkan kebenaran versi mereka.

Aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan seperti bom bunuh diri, pelemparan bom Molotov, sampai penyerangan terhadap umat agama lain, bahkan umat Islam lain yang dianggap sesat, adalah gerakan yang sangat berbahaya. 

Kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya mengenahi sasarannya, tapi juga mencoreng dan melukai wajah Islam secara keseluruhan. Islam tercederahi oleh ekspresi anak-anaknya sendiri dengan mengatas namakan tuhan.

Itu belum seberapa, yang jauh lebih berbahaya dari tindakan-tindakan kekerasan tadi adalah pemikiran-pemikiran mereka. Pemikiran ekstrim yang disebar ke seluruh dunia dengan menunggangi media sosial yang akan melahirkan aksi kekerasan lain di masa mendatang. 

Sasarannya adalah umat Islam sendiri, terutama kita yang awam-awam ini. mereka juga menyasar kelompok anak muda muslim yang tidak punya basic ilmu agama yang cukup. Lewat media social, kelompok ekstrim tersebut menyuapi ajaran-ajaran Islam yang radikal.

Apa bahayanya? Bayangkan jika ajaran itu diterima dan diyakini sebagai kebenaran agama yang mutlak oleh sebagian besar umat Islam. Wajah Islam akan berubah jadi menyeramkan, galak, bengis dan menakutkan. Takbiratul ihram, Allahu Akbar, tidak lagi digunakan untuk membuka ritual salat, melainkan dijadikan fasword untuk mencelakakan manusia lain.

Bisa dibayangkan bagaimana jadinya, jika tiba-tiba seorang anak menunjuk wajah orang tuanya lalu teriak bid’ah, sesat dan kafir. Atau ngamuk-ngamuk saat orang tuanya meninggal dan hendak dilakukan budaya tujuh harinya.

Itu bahaya dan jadi ancaman besar bagi bangsa dan agama Islam itu sendiri. Pemikiran-pemikiran radikal dan tekstual harus dilawan dengan pemikiran sejuk dan kontekstual. Inilah perang paling logis untuk dilakukan, melawan pemikiran dengan pemikiran, menyerang tulisan dengan tulisan.

Itu saja
Salam toleransi

Tukamasea, 01 Desember 2016