Jumat, 29 Januari 2016

Kampungku



Sahabat, engkau mungkin belum pernah mendengar nama kampungku? Mungkin belum, tapi biarlah, memang kampungku tidak terlalu populer di semua daerah se-Indonesia. Desa Tukamasea — sekitar 8 – 10 kilo meter dari Bandara Internasional Sultan Hasanudin Makassar. Sekarang engkau mungkin sudah tahu sekilas tentang kampungku, di sini berdiri kokoh satu perusahaan besar yang dibangun oleh Aksa Mahmud. Kamu tahu bapak Aksa Mahmud, bukan? Beliau adalah adik ipar Wakil Presiden Indonesia saat ini, H. Muh. Jusuf Kalla atau sering dipanggil bapak Ucu.

Sahabat, 23 tahun yang lalu kampungku masih berupa pemukiman yang sunyi, akses jalan antar dusun satu dengan dusun yang lain masih sangat sulit. Rawa dan hutan masih terbentang luas menutupi buminya sehingga teramat sulit melihat hewan lalu-lalang dari atas helikopter. Sulit melihat ada kendaraan roda dua maupun roda empat di sini beraktifitas, apalagi jalan yang masih terputus-putus ikut memberi gairah kepada warga kampung di sini untuk menunggang kuda ke pasar rakyat.

Lalu tahun 1995 perusahaan Semen tersebut dibangun oleh bapak Aksa dan tahun 1999 perusahaan semen kedua di Sulsel ini mulai berproduksi. Sejak tahun inilah, banyak pendatang berdatangan ke kampung tempat aku dilahirkan ini, berbagai macam suku dan budaya hadir dan berbaur ­— mungkin bercampur dengan budaya lokal di sini. Sejak itu pula, akses jalan sudah mulai baik, pihak perusahaan membangun betonisasi meskipun hanya sampai di pasar rakyat sekitar 700 meter dari arah Utara pabrik .

Mungkin itu bukanlah hal yang patut untuk dikagumi atau dicibir. Setidaknya begitulah perjalanan sederhana kampungku dari kampung yang sama sekali tidak dikenal menjadi kampung yang dikenal dan mungkin akan dikenang sebagai wilayah dibangunnya industri pengeksploitasi alam ketiga setelah tambang Nikel dan Minyak.

Sahabat, saat ini hampir semua penghuni di kampung adalah suku Bugis. Adapun suku Makassar hanya sebagian kecil dari naturalisasi yang terjadi saat musim kawin. Meskipun kedua suku ini seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan di Sulawesi Selatan tapi perbedaan keduanya tetap mencolok, terutama saat bercerita — suku Bugis halus dan Suku Makassar cukup keras dan kasar. Di kampung ini kedua suku terbesar di Maros tersebut saling berbaur dan melebur meskipun tak disangkal, bahasa Bugis menjadi bahasa sehari-hari dan bahasa rumah tangga.

Kampung ini terhitung luas untuk status desa di kecamatan Bantimurung, panjangnya sekitar  tiga kilometer dan lebarnya sekitar satu kilometer. Saat ini jumlah penduduk di kampung subur ini sekitar 5700 jiwa, jumlah yang cukup pantastis tapi di kampung ini tidak ditemukan ada rumah yang berdempetan terlalu rapat kecuali di Dusun Amessangeng.

Sahabat, yang hendak kuceritakan kepadamu ialah keadaan pemuda dalam kampungku, pemuda di sini terhitung dinamis dan edukatif. Hampir semua pemuda di kampungku setelah menyelesaikan studinya di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas), lalu melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Ada banyak macam perguruan tinggi dan jurusan yang dipilih sebagai tempat menempah diri. Ada di kota Maros dan banyak pula di kota Makassar. Hanya sebagian kecil pemuda yang tinggal dirumahnya memperturutkan kemalasannya, sebagiannya lagi berangkat merantau ke kampung orang.

Di kampungku, para pemuda yang menghibahkan waktunya selama kurang lebih empat tahun, tidak sekedar menghabiskan waktunya di bangku kuliah, mereka banyak memporsir waktunya di berbagai organisasi-organisasi nasional seperti PMII, HMI dan IMM, merekapun tak lengah untuk bergabung di ORGANDA (organisasi daerah) seperti HIPMI MR (Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia Maros Raya). Di sini, mereka banyak membuat kelas-kelas yang informal bahkan kelas nonformal untuk melakukan transformasi pengetahuan dan pengalaman —  bagi mereka setiap orang adalah guru dan setiap ruang adalah kelas bahkan alam bebas adalah mahagurunya.

Sahabat, dari proses panjang yang dilewati di kampus dan di berbagai organisasi, pemuda di kampungku menjadi pemuda yang kritis dan cerdas. Hampir semua pemuda, hampir semua yang memilihkan nasibnya untuk menjadi mahasiswa. Di berbagai pertemuan, baik di kampus, di kantor desa, di kantor camat bahkan di pertemuan-pertemuan di tingkat daerah sekalipun, pemuda dari desa Tukamasea selalu ikut berkontribusi.

Sahabat, cerita tersebut di atas adalah masa lalu, saya sebut sebagai masa keemasan pemuda di kampungku. Atau masa kejayaan dalam salah satu film sebagai adaptasi kisah Nabi Sulaiman. Cerita itu sudah ditelan oleh zaman dan aku melihat generasi kedua dan ketiga tak urung menyelamatkan masa kejayaan tersebut. Bahkan para pelaku masa kejayaan yang sudah pada sukses menyelesaikan studinya kelihatannya sudah apatis, kalau tidak boleh disebut tidak bertanggungjawab atas generasi kedua dan ketiga ini. Mereka masing-masing sibuk mengurusi diri sendiri dan tempat berlabuhnya.

Itu tidak salah karena sudah menjadi kewajiban setiap sarjana muda untuk mempergunakan ilmunya pada muaranya masing-masing. Tidak bisa disangkal bahwa salah satu tolok ukur kesuksesan seorang mantan mahasiswa adalah ketika memperoleh muara berlabuh yang baik  tidak terlalu banyak mengeluarkan keringat untuk memperoleh uang dan saya kira itu sudah digapai oleh masing-masing pemuda angkatan 2007 dan 2008 tersebut.

Sahabat, persoalannya kemudian adalah hari ini. Kelompok pemudapun terbentuk di kampungku, produk zaman yang tentu dengan karakter yang berbeda dengan angkatan sebelumnya. Aku lengah melihat semangat mereka berkuliah dengan bersungguh-sungguh bahkan aku jarang melihat gelora mereka untuk beroganisasi sebagai mana generasi sebelumnya. Selain itu kurang diantara mereka relah berletih-letih mengumpulkan uang untuk biaya kuliah atau setidaknya untuk biaya transportasi ke kampus masing-masing, mereka bergantung penuh pada orang tuanya.

Aku melihat pemuda di kampungku yang aktifitasnya hanya kuliah, menjadikan ritual pendidikan itu sebagai pengisi waktu nganggur. Daripada nganggur mending kuliah sambil cari-cari peluang kerja, ungkapan ini yang kerap dilontarkan sebagian diantara mereka  pada akhirnya beberapa diantara mereka gugur di tengah jalan. Sebagian lagi kerja sambil kuliah, itu tidak masalah dan bahkan terakhir, pilihan ini yang sangat trend di kalangan pemuda. Tapi aku pesimis orentasi kuliah dengan mode seperti itu bukan pada prosesnya apalagi ilmunya melainkan pada Ijasa dan Transkrip nilainya. Kedua legalisasi pendidikan strata satu ini kemudian akan digunakan untuk perbaikan nasib di tempat kerja.

Minat berorganisasi pemuda saat ini di kampungku semakin payah. Proses menggembleng hati, pikiran dan prilaku ini cepat tinggalkan sehingga terlampau sulit menemukan pemuda yang bermental bajak yang banyak hanyalah pemuda dengan mental krupuk kriuk dan pesimis dengan masa depannya. Selebihnya terlampau banyak anak muda yang menutup masa pendidikannya sampai di SMP dan SMA kemudian menghabiskan waktu malamnya di pos ronda sampai subuh dan waktu siangnya di atas kasur. Lalu harapan apa yang bisa digantungkan pada pemuda seperti ini? Tentu jawabannya sangat buyar.

Sahabat, aku bukan bermaksud menghumbar kepadamu tentang keadaan pemuda yang berhianat pada syarat peradaban besar di setiap kampung, daerah atau bangsa. Aku sengaja menceritakan ini kepadamu agar kesadaran itu lahir kembali, muncul mendobrak dan mengobrak-abrik dinding pemisah antara pemuda dan masa depan kampungku. Aku selalu optimis kalau-kalau masa depan sebuah bangsa dan masa depan kampungku ada di pundak semua pemuda. Yaitu pemuda yang menghabiskan waktunya untuk membentuk hati, fikiran dan lakunya dengan matra pengetahuan.

Pendek kata aku merindukan gelanggang yang diisi pemuda-pemuda cerdas dan kritis, berperang dengan logika menggunakan intrik-intrik intelek. Adu logika dalam ruang-ruang diskusi, setiap perbedaan adalah lawan lawan dalam forum tapi teman akrab di luar padang. Aku sesak menanti itu, aku gerah mengharap moment itu.


Indonesia, 20 Januari 2016

SAFARUDDIN

Kamis, 21 Januari 2016

CSR dan Permasalahannya

CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan istilah yang digunakan untuk memaknai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar perusahaan. Yah, mungkin anda sudah tahu itu dan juga sudah lama mengetahui kalau-kalau istilah ini rame dibicarakan sejak tahun 90-an dimana PT. Freeport Indonesia (PTFI) secara politis di era Soeharto menjadi sorotan utama.

Istilah CSR sudah bukan barang langka di masyarakat, bahkan masyarakat paling awan sekalipun sudah sering bicara tentangnya. Setidaknya ini merupakan salah satu dampak positif paling nyata dari perkembangan teknologi dan informasi dan juga sebagai bukti bahwa Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi public (semoga saya tidak salah) sudah terjawantah dalam sikap kritis masyarakat luas.

Bagi saya, mengetahui konsep tanggung jawab perusahaan tersebut amatlah penting untuk masyarakat secara umum karena terlaksana atau tidak terlaksanannya konsep tersebut akan berdampak langsung ke masyarakat. Sehingga mencermati, memikirkan dan atau melakukan studi banding ke perusahaan yang dipandang sudah menerapkan CSR dengan baik, sangatlah penting dilakukan.

Nah, tentu saya dan anda tidak ingin pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang CSR keluar dari jati dirinya yang sebenarnya. Karena jika itu yang terjadi, dapat dipastikan masyarakat akan sinis menilai keberadaan sebuah perusahaan di daerahnya dan klimaksnya adalah mereka akan berpotensi berfikir ekstrim serta bertindak criminal. Kalau ini yang terjadi maka pihak perusahaan dan masyarakat itu sendiri akan digandrungi kerugian, baik kerugian berupa materi maupun kerugian sosial.

Pertama-tama CSR harus difahami tidak hanya menjadi kewajiban sosial perusahaan, lebih daripada itu, CSR telah ditingkatkan derajat normanya oleh pemerintah menjadi kewajiban hukum sebagaimana amanat UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dalam penjelasan Pasal 62 ayat (1) sebagai berikut :

“Berdasarkan ketentuan ini RUPS dapat menetapkan bahwa sebagian atau seluruh laba bersih akan digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, atau pembagian lain seperti tansiem, CADANGAN DANA SOSIAL dan lain-lain, atau . . . “.

Kemudian UU tersebut di atas diganti dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang terakhir ini tidak lagi hanya MENYARANKAN Perseroan Terbatas untuk menyejahterakan masyarakat, namun UU ini MEWAJIBKAN Perseroan Terbatas untuk berperan aktif dalam menyejahterakan masyarakat sebagaimana pasal 74 UU Nomor 40 tahun 2007, yang berbunyi sebagai berikut :

“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam WAJIB melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan . . .”

Jika anda ada keinginan menyempatkan waktunya yang sedikit dengan membaca tuntas UU Nomor 40 tahun 2007 ini, maka akan ditemukan segala macam bentuk program yang berkaitan dalam pelaksanaan CSR termasuk pembangunan ekonomi masyarakat sebagimana dalam Pasal 1 angka 3 yang berbunyi sebagai berikut :

“Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan EKONOMI berkelanjutan yang bermanfaat, baik bagi PERSEROAN sendiri, KOMUNITAS setempat, maupun MASYARAKAT pada umumnya.”

Anda dan saya setidaknya baru saja mengetahui landasan hukum yang sahih tentang CSR dan tentu menjadi kewajiban anda dan saya juga untuk menyampaikan ini kepada masyarakat umum. Ini urjen untuk dilakukan sebagai bentuk pencerdasan dan pencerahan hukum bagi masyarakat, setidaknya mereka tahu bahwa ada UU yang mengatur tentang CSR.

Amunisi selanjutnya yang sarat harus diketahui oleh anda, saya dan masyarakat umum, adalah pertimbangan apa sehingga pemerintah dan juga dunia menyarankan bahkan mewajibkan perseroan untuk melaksanakan CSR? Pertanyaan ini tidak boleh dijawab dengan bahasa bisnis atau dipandang dengan kacamata perseroan karena dengan begitu jawaban yang diperoleh akan hambar. Dan, kalaupun dari jawaban itu kemudian perusahaan menjalankan kewajibannya tersebut, boleh jadi hanya merupakan strategi moral untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan alias pencitraan.

Sebenarnya gerakan modernisasi telah menginspirasi gerakan sosial untuk menyelamatkan lingkungan manusia. Gerakan-gerakan sosial yang berbasis lingkungan dan kemanusiaan muncul dalam tingkat global dan melahirkan konstruksi baru atas peran masyarakat, pemerintah dan perusahaan dalam menciptakan peradaban dunia yang lebih harmonis. Perilaku dari salah satu pihak yag merugikan lingkungan tidak hanya mempengaruhi lingkungan di sekitarnya, melainkan juga mengancam keberlangsungan kehidupan seluruh umat manusia.

Karena alasan sederhana tersebutlah sehingga wajib bagi perseroan sebagai PELAKU perusak lingkungan untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap lingkungan dan manusia yang ada di sekitar perusahaan. Jadi kalau masyarakat mengajukan pertanyaan polos tentang “mengapa perseroan harus ber CSR? Jawabannya adalah karena aktifitas perseroan MERUGIKAN lingkungan dan MENGANCAM keberlangsungan hidup manusia.

Tidak cukup sampai di situ, focus informasi penting yang juga harus anda dan saya ketahui adalah siapa yang bertanggung jawab untuk merealisasikan CSR? Di sini, jika jawaban kita keliru, maka kita belum penuh dan belum siap melakukan advokasi CSR dengan ideal tapi jika jawaban kita tepat, mari berjalan selamatkan lingkungan dan keberlangsungan hidup manusia.

Asumsi awam dan naif kebanyakan orang, semoga bukan termasuk anda, adalah CSR merupakan tanggung jawab penuh perseroan. Ini salah satu pemahaman yang amatir dan sudah ditinggal telak oleh perkembangan industry. Jika tanggung jawab CSR ditumpahkan sepenuhnya kepada perseroan maka harapan penyejahteraan masyarakat melalui tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan ini tidak akan kunjung terealisasi. 
Kenapa? Karena pihak perusahaan terlalu sibuk untuk urusan operasional produksi dan pemasaran produknya. Kalaupun sudah ada departemen yang khusus memikirkan dan melaksanakan amanat UU tersebut, dapat dipastikan hasilnya tidak akan maksimal.

Di sisih lain, pada awal-awal pelaksanaan amanat UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, pemerintahan orde baru cenderung lebih merasa berhak untuk mengelola CSR perusahaan. Ini masing sering diadopsi dan diperaktekkan beberapa daerah . Asumsi yang kerap digunakan untuk pembenaran adalah perencanaan pembangunan Negara dan daerah sepenuhnya diketahui dan dilaksanakan oleh pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya ternyata tidak demikian halnya, program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah melalui program CSR selalu identik dengan pencitraan, seremonial dan elitis.

Tentu masih ada kelompok yang saya belum singgung, yaitu masyarakat sipil atau civil society. Kadang-kadang masyarakat sipil merasa kalau-kalau pihak perseroan tidaklah memperhatikan tanggung jawab sosialnya. Pemerintah juga demikian tidak becus menjemput kewajiban perusahaan tersebut, sehingga kadang-kadang masyarakat melalu lembaga kemasyarakatan yang dibentuk merasa berhak untuk mengelola CSR tersebut.
Tentu ketiga-tiganya berhak bahkan bertanggung jawab dalam perealisasian CSR perseroan, tapi jika masing-masing ingin jalan sendiri-sendiri untuk mengelolannya, percayalah program yang tujuannya sangat baik bagi masyarakat tersebut tidak bisa berjalan maksimal.

Perusahaan butuh masyarakat, masyarakatpun demikian. Perusahaan butuh pemerintah, pemerintah juga pasti butuh perusahaan, apalagi masyarakat. Ketiga kelompok terakhir selalu akan berdiri dan duduk berdampingan dan ketiganya bisa saling membesarkan. Dan untuk menjalankan program CSR dengan maksimal dan sebagaimana peruntukannya, maka perusahaan, pemerintah setempat dan masyarakat melalui lembaga kemasyarakatan harus bersinergi.


Indonesia, 22 Januari 2015

SAFARUDDIN
  
   


Selasa, 19 Januari 2016

GARIS TANGAN, INPUT DAN OUTPUT PERJUANGAN



Setiap orang yang hari ini menari-nari,  memperoleh status tinggi, jabatan dan harta berlimpah, sudah menjadi garis tangannya. Sebagian orang atau orang kebanyakan hidup dalam kemiskinan, terjerat oleh kebutuhan yang tak kuasa dipenuhi, dicekik oleh keinginan yang tak bersekutu dengan penghasilan adalah garis tangan, kalau tidak boleh disebut ketetapan pencipta.

Ini pernyataan yang sering dibenarkan oleh banyak kalangan, bahkan oleh saya sendiri sering membenarkannya dan mungkin juga oleh saudara/saudariku yang hari ini masih duduk di bangku sekolah, bangku kuliah maupun pemuda yang belajar dari alam secara “autodidaktos” yang kebetulan  disita sedikit waktunya oleh tema tulisan ini. 

Mungkin pembaca mengira kalau isi tulisan ini sudahlah apik, seapik penggalan tulisan seorang penulis ternama seperti Darwis Tere Liye, Hasbiburrahman, Andrea Hirata, Hilman Hariwijaya dan penulis angkatan kedua dan ketiga lainnya,  atau mengira tulisan ini jenis tulisan dogmatis seperti tulisan-tulisan Pastur saat digugat oleh Galileo pada abad 17  Masehi yang lalu. Atau bisa jadi menganggap tulisan ini adalah bagian atau jawantah dari  fatwa islami seperti Fatwa “rokok makru dan haram” oleh MUI tahun 2009 yang lalu.

Sama sekali tidak. Tulisan ini masih sangat polos dan apa adanya bagi saya ­ pun tidak dalam rangka maksud menggugat ketetapan yang sudah ditentukan pencipta apalagi terjemahan fatwa. Tulisan ini tidak seindah untaian syair Chaeril Gibran yang bisa menggugah pembacanya sampai lupa makan malam bahkan lupa tidur sampai fajar menyinsing. Tidak detail seperti tulisan Pramodya Ananta Toer yang membuat dada bergemuru dan memompa aliran darah dengan cepat untuk meneriakkan kata Revolusi. Tulisan ini juga tidak ekstrim seperti tulisan Tan Malaka yang membuat dirinya harus menghabiskan sebagian usianya di dalam penjara dan di pengasingan.

Pembaca tidak akan mendapati hurup atau kata bahkan kalimat yang asing dalam tulisan ini. Bukan karena saya awas pembaca salah memahami atau memaknai isi setiap garis besar perparagraf tulisan singkat ini, melainkan murni karena keterbatasan hurup, kata dan kalimat di pembendaharaan penulis.

Dalam tulisan sederhana ini, pembaca juga tidak akan menemukan dalil-dalil yang bersumber dari Alquran, Hadits, Ijma dan Qiyas sebagai penopan setiap fargraf. Bukan karena tidak mau melibatkan “pasal-pasal suci” agama, juga bukan karena saya anti dengan agama ketika tangan saya menari di atas keyboard computer. Tapi sekali lagi hanya karena keterbatasan pembendaharaan dalil oleh penulis.

Saya, dan pembaca mungkin sering melihat teman atau sahabat atau mungkin juga musuh bebuyutan yang dahulu saat menjadi sejawat kita, ia orangnya bodoh, malas ke sekolah, sering mengganggu teman yang duduk di samping kanan dan kirinya bahkan sering melempar kertas yang dibentuk seperti bola kasti kemudian melempar teman yang ada di belakang dan di depannya. Saya sering menyebutnya siswa yang usil.

Tapi hari ini ia menempati posisi yang lebih baik dari kita yang dulu kalem, sabar, rajin belajar, rajin ke sekolah. Pada saat ulangan dan ujian, daftar pustaka dari jawaban teman sekelas selalu dari kita, selalu kita yang mengingatkan teman-teman sekelas untuk mengerjakan pekerjaan rumah  (PR) yang diberikan oleh guru, pokoknya kita yang ter Waowwwww di kelas bahkan di sekolah.

Ketika ngumpul dengan teman-teman yang dulu sama-sama menjadi idola semua guru, mungkin kita akan membicarakan dan mencibir teman kita tersebut. Sebagian dari kita memuji atas prestasi yang diperoleh orang beruntung itu dan sebagian lagi memuji keberuntungan atau “nasib kebetulan” yang menjatuhi kehidupannya.

Apa kesimpulan yang sering muncul dari kasus seperti ini? Bahwa setiap usaha dan taktik akan kalah di hadapan garis tangan. Bagi saya (tolong tanggalkan dalil-dalil agama) kesimpulan tersebut cacat dalam kacamata evolusi manapun, garis tangan bukanlah ketetapan. Garis tangan adalah Output dari proses Input yang telah dimaksimalkan oleh seseorang.

Lalu apa yang membedakan orang beruntung dan orang yang kurang beruntung? Orang beruntung cepat menyadari dan mengola secara terus-menerus input yang dimiliki untuk memperoleh output, sedangkan orang yang kurang beruntung lambat menyadari dan tidak konsisten mengola input yang dimiliki.

Keberuntungan adalah hak bagi setiap orang. Tapi pengecualiannya ialah orang yang sekolah tanpa kesadaran, orang yang belajar hanya agar tidak dapat omelan dan ranting bambu dari orang tua. Orang seperti ini tidak menyadari dan mengola input (kesehatan, kesempatan, teknologi dan jajan) yang dimilikinya untuk memperoleh output (semua yang dimiliki oleh orang beruntung). Anda sepakat? Tidak usah sepakat dengan bergeming, tanyakan saja kepada diri kita masing-masing kalau anda tidak seperti itu jadinya, berarti anda salah satu dari sedikit orang yang  beruntung. Kalau seperti itu adanya, kita belum terlambat. Kita masih beruntung.

Kita sering latah melihat orang yang memperoleh keberuntungan, menjadi kelemahan setiap orang hanya memperhatikan asap dari kejauhan tanpa menengok sedikitpun api yang menjadi penyebab kebakaran 100 hektar hutan atau memeriksa gesekan bambu yang menciptakan panas dan api. Pernahkah kita bertanya kepada orang beruntung tentang rahasia kesuksesannya? Kalau pernah, berarti kita baru saja mengetahui satu dari sekian banyak rahasia Soekarno,George Washington, dan pemimpin-pemimpin dunia lainnya dalam mengukir garis tangannya sendiri. Kalau belum, berhenti mencibir, tanyakan kemereka. Niscaya kita akan memperoleh rahasia baru.

Lalu bagaimana kaitannya garis tangan dengan usaha maksimal (tindakan dan doa) dalam memperoleh keberuntungan. Saya kira inilah sebabnya lembaran nasib seseorang tidak keluar bersamaan saat muncul dari alam rahim seorang ibu. Nasib bukanlah tulisan yang jelas terpahat didinding kehidupan seseorang melainkan  cahaya yang diperoleh dari sebarapa sering dan giat seseorang berusaha menyingkap tabir yang gelap.

Sekali lagi saya ingatkan bahwa tulisan ini bukan dogma apalagi jawantah fatwa, ini hanya bagian terkecil dari asumsi penikmat kopi di teras rumah, kalau tidak boleh disebut persepsi atau buah perenungan. Tulisan ini hanya mengajak pembaca untuk tidak menutup mata dan kesadaran yang dimiliki agar dapat mengukir garis tangan sendiri.


Indonesia, 20 Januari 2016


SAFARUDDIN