Sahabat, engkau mungkin
belum pernah mendengar nama kampungku? Mungkin belum, tapi biarlah, memang
kampungku tidak terlalu populer di semua daerah se-Indonesia. Desa Tukamasea —
sekitar 8 – 10 kilo meter dari Bandara Internasional Sultan Hasanudin Makassar. Sekarang
engkau mungkin sudah tahu sekilas tentang kampungku, di sini berdiri kokoh satu
perusahaan besar yang dibangun oleh Aksa Mahmud. Kamu tahu bapak Aksa Mahmud,
bukan? Beliau adalah adik ipar Wakil Presiden Indonesia saat ini, H. Muh. Jusuf
Kalla atau sering dipanggil bapak Ucu.
Sahabat, 23 tahun yang lalu
kampungku masih berupa pemukiman yang sunyi, akses jalan antar dusun satu
dengan dusun yang lain masih sangat sulit. Rawa dan hutan masih terbentang luas
menutupi buminya sehingga teramat sulit melihat hewan lalu-lalang dari atas
helikopter. Sulit melihat ada kendaraan roda dua maupun roda empat di sini
beraktifitas, apalagi jalan yang masih terputus-putus ikut memberi gairah
kepada warga kampung di sini untuk menunggang kuda ke pasar rakyat.
Lalu tahun 1995 perusahaan
Semen tersebut dibangun oleh bapak Aksa dan tahun 1999 perusahaan semen kedua
di Sulsel ini mulai berproduksi. Sejak tahun inilah, banyak pendatang
berdatangan ke kampung tempat aku dilahirkan ini, berbagai macam suku dan
budaya hadir dan berbaur — mungkin bercampur dengan budaya lokal di sini.
Sejak itu pula, akses jalan sudah mulai baik, pihak perusahaan membangun betonisasi
meskipun hanya sampai di pasar rakyat sekitar 700 meter dari arah Utara pabrik
.
Mungkin itu bukanlah hal
yang patut untuk dikagumi atau dicibir. Setidaknya begitulah perjalanan
sederhana kampungku dari kampung yang sama sekali tidak dikenal menjadi kampung
yang dikenal dan mungkin akan dikenang sebagai wilayah dibangunnya industri
pengeksploitasi alam ketiga setelah tambang Nikel dan Minyak.
Sahabat, saat ini hampir semua penghuni di
kampung adalah suku Bugis. Adapun suku Makassar hanya sebagian kecil dari naturalisasi
yang terjadi saat musim kawin. Meskipun kedua suku ini seperti dua mata uang
yang tidak bisa dipisahkan di Sulawesi Selatan tapi perbedaan keduanya tetap
mencolok, terutama saat bercerita — suku Bugis halus dan Suku Makassar cukup
keras dan kasar. Di kampung ini kedua suku terbesar di Maros tersebut saling
berbaur dan melebur meskipun tak disangkal, bahasa Bugis menjadi bahasa
sehari-hari dan bahasa rumah tangga.
Kampung ini terhitung luas
untuk status desa di kecamatan Bantimurung, panjangnya sekitar tiga kilometer dan lebarnya sekitar satu
kilometer. Saat ini jumlah penduduk di kampung subur ini sekitar 5700 jiwa,
jumlah yang cukup pantastis tapi di kampung ini tidak ditemukan ada rumah yang
berdempetan terlalu rapat kecuali di Dusun Amessangeng.
Sahabat, yang hendak
kuceritakan kepadamu ialah keadaan pemuda dalam kampungku, pemuda di sini
terhitung dinamis dan edukatif. Hampir semua pemuda di kampungku setelah
menyelesaikan studinya di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas), lalu melanjutkan
sekolahnya ke perguruan tinggi. Ada banyak macam perguruan tinggi dan jurusan
yang dipilih sebagai tempat menempah diri. Ada di kota Maros dan banyak pula di kota Makassar.
Hanya sebagian kecil pemuda yang tinggal dirumahnya memperturutkan
kemalasannya, sebagiannya lagi berangkat
merantau
ke kampung orang.
Di kampungku, para pemuda
yang menghibahkan waktunya selama kurang lebih empat tahun, tidak sekedar
menghabiskan waktunya di bangku kuliah, mereka banyak memporsir waktunya di berbagai
organisasi-organisasi nasional seperti PMII, HMI dan IMM, merekapun tak lengah
untuk bergabung di ORGANDA (organisasi daerah) seperti HIPMI MR (Himpunan
Pemuda dan Mahasiswa Indonesia Maros Raya). Di sini, mereka banyak membuat
kelas-kelas yang informal bahkan kelas nonformal untuk melakukan transformasi
pengetahuan dan pengalaman — bagi mereka
setiap orang adalah guru dan setiap ruang adalah kelas bahkan alam bebas adalah
mahagurunya.
Sahabat, dari proses panjang yang dilewati di kampus
dan di berbagai organisasi, pemuda di kampungku menjadi pemuda yang kritis dan
cerdas. Hampir semua pemuda, hampir semua yang memilihkan nasibnya untuk
menjadi mahasiswa. Di berbagai pertemuan, baik di kampus, di kantor desa, di
kantor camat bahkan di pertemuan-pertemuan di tingkat daerah sekalipun, pemuda
dari desa Tukamasea selalu ikut berkontribusi.
Sahabat, cerita tersebut di atas adalah masa lalu,
saya sebut sebagai masa keemasan pemuda di kampungku. Atau masa kejayaan dalam
salah satu film sebagai adaptasi kisah Nabi Sulaiman. Cerita itu sudah ditelan
oleh zaman dan aku melihat generasi kedua dan ketiga tak urung menyelamatkan
masa kejayaan tersebut. Bahkan para pelaku masa kejayaan yang sudah pada sukses
menyelesaikan studinya kelihatannya sudah apatis, kalau tidak boleh disebut
tidak bertanggungjawab atas generasi kedua dan ketiga ini. Mereka masing-masing
sibuk mengurusi diri sendiri dan tempat berlabuhnya.
Itu tidak salah karena sudah menjadi kewajiban setiap
sarjana muda untuk mempergunakan ilmunya pada muaranya masing-masing. Tidak
bisa disangkal bahwa salah satu tolok ukur kesuksesan seorang mantan mahasiswa
adalah ketika memperoleh muara berlabuh yang baik — tidak terlalu
banyak mengeluarkan keringat untuk memperoleh uang dan saya kira itu sudah
digapai oleh masing-masing pemuda angkatan 2007 dan 2008 tersebut.
Sahabat, persoalannya kemudian adalah hari ini. Kelompok
pemudapun terbentuk di kampungku, produk zaman yang tentu dengan karakter yang
berbeda dengan angkatan sebelumnya. Aku lengah melihat semangat mereka
berkuliah dengan bersungguh-sungguh bahkan aku jarang melihat gelora mereka
untuk beroganisasi sebagai mana generasi sebelumnya. Selain itu kurang diantara
mereka relah berletih-letih mengumpulkan uang untuk biaya kuliah atau
setidaknya untuk biaya transportasi ke kampus masing-masing, mereka bergantung
penuh pada orang tuanya.
Aku melihat pemuda di kampungku yang aktifitasnya
hanya kuliah, menjadikan ritual pendidikan itu sebagai pengisi waktu nganggur.
Daripada nganggur mending kuliah sambil cari-cari peluang kerja, ungkapan ini
yang kerap dilontarkan sebagian diantara mereka — pada akhirnya
beberapa diantara mereka gugur di tengah jalan. Sebagian lagi kerja sambil
kuliah, itu tidak masalah dan bahkan terakhir, pilihan ini yang sangat trend di
kalangan pemuda. Tapi aku pesimis orentasi kuliah dengan mode seperti itu bukan
pada prosesnya apalagi ilmunya melainkan pada Ijasa dan Transkrip nilainya.
Kedua legalisasi pendidikan strata satu ini kemudian akan digunakan untuk
perbaikan nasib di tempat kerja.
Minat berorganisasi pemuda saat ini di kampungku
semakin payah. Proses menggembleng hati, pikiran dan prilaku ini cepat tinggalkan
sehingga terlampau sulit menemukan pemuda yang bermental bajak — yang banyak hanyalah pemuda dengan mental krupuk
kriuk dan pesimis dengan masa depannya. Selebihnya terlampau banyak anak muda
yang menutup masa pendidikannya sampai di SMP dan SMA kemudian menghabiskan
waktu malamnya di pos ronda sampai subuh dan waktu siangnya di atas kasur. Lalu
harapan apa yang bisa digantungkan pada pemuda seperti ini? Tentu jawabannya
sangat buyar.
Sahabat, aku bukan bermaksud menghumbar kepadamu
tentang keadaan pemuda yang berhianat pada syarat peradaban besar di setiap
kampung, daerah atau bangsa. Aku sengaja menceritakan ini kepadamu agar
kesadaran itu lahir kembali, muncul mendobrak dan mengobrak-abrik dinding pemisah
antara pemuda dan masa depan kampungku. Aku selalu optimis kalau-kalau masa
depan sebuah bangsa dan masa depan kampungku ada di pundak semua pemuda. Yaitu
pemuda yang menghabiskan waktunya untuk membentuk hati, fikiran dan lakunya
dengan matra pengetahuan.
Pendek kata aku merindukan gelanggang yang diisi
pemuda-pemuda cerdas dan kritis, berperang dengan logika menggunakan
intrik-intrik intelek. Adu logika dalam ruang-ruang diskusi, setiap perbedaan
adalah lawan —
lawan dalam forum tapi teman akrab di luar padang. Aku sesak menanti itu, aku
gerah mengharap moment itu.
Indonesia, 20 Januari 2016
SAFARUDDIN