“kenapa kamu tidak mau
bergabung dalam organisasi kemahasiswaan?”. Tanya seorang pimpinan salah
satu organisasi kepemudaan di kabupaten
Maros pada suatu hari. “saya tidak mau masuk karena kebanyakan teman-teman saya
yang aktif di lembaga eksternal kampus, jarang masuk kuliah dan kalaupun masuk,
dia hanya duduk paling belakang dengan wajah yang kusut seperti orang yang
semalaman tidak dapat bantal”.
“Belum lagi” lanjutnya. Kalau dibuka kesempatan untuk berdiskusi, dia
asal bunyi dan tidak jarang bernada kasar pada dosen saat mengeluarkan pendapat. Bahkan menurut
teman-teman, sebagian besar mahasiswa yang aktif dalam organisasi luar kampus
terlambat dalam penyelesaian kuliahnya”. Jawab mahasiswa yang kuliah di salah
satu perguruan tinggi di Kabupaten Maros dengan nada menjelaskan.
Cuplikan di atas memberikan
gambaran sederhana tentang citra seorang aktivis kampus di mata sebagian
mahasiswa dan masyarakat umum. Bahwa seorang aktivis kerjanya begadang pada
malam hari sampai jam satu bahkan sampai jam tiga subuh, kerjanya kadang-kadang
membaca, berdiskusi tentang wacana local, nasional, internasional namun kadang
juga hanya ngumpul minum kopi berteman dengan HP sambil BBM-an sekaligus
tertawa terbahak-bahak tentang sesuatu hal yang kurang bermanfaat. Bahwa
seorang aktivis kampus banyak menyia-nyiakan kesempatan belajar di ruang formal
di dalam kelas saat semester-semester awal (1,2,3,4)
Setelah lelah tertawa dan
ngantuk menyergap mata dan fikirannya, sang aktivis kemudian membaringkan badan
di atas tikar tanpa bantal dan tidur pulas sampai jam 11 siang. Alhasil, dosen
yang jadwal masuknya jam 8 pagi tidak akan menunggu sang aktivis bangun dari
tidur lelapnya. Seorang dosen yang juga mengejar jam belajar tidak punya
toleran untuk mahasiswa yang malas masuk.
Bahkan tidak sedikit sang
aktivis harus merayap menyelesaikan kuliahnya di akhir semester oleh karena
sibuk melakukan perbaikan nilai disemester-semester awal. Bahkan dalam
penelitian yang dilakukan pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu
Ekonomi Unismuh Makassar periode 2010-2011 untuk wilayah Makassar tahun 2011
lalu, ditemukan data bahwa kebanyakan aktivis kampus di kota Makassar banyak tidak
bisa menyelesaikan perkuliahaan secara normal.
Tentu ini sebuah
keprihatinan bagi aktivis kampus. Ada kesalahan dalam mengatur waktu saat
seorang mahasiswa memilih untuk jadi aktivis dalam dan luar kampus. Karena
banyak disibukkan dengan kegiatan organisasi, akhirnya aktivitas akademik
tercampakkan dan penyelesaian studi tertunda sampai bertahun-tahun.
Menjadi seorang aktivis
tentu merupakan pilihan intelek bagi seorang mahasiswa dan salah satu syarat
menjadi pemimpin masa depan adalah bergelut dalam organisasi, baik internal
maupun eksternal kampus tapi juga harus diimbangi dengan kemampuan mencapai
prestasi akademik yang baik. Salah satu ukuran pencapaian akademik yang baik
adalah selesai dengan tepat waktu (delapan semester).
Seorang aktivis kampus yang
baik adalah mahasiswa yang total dalam organisasi intra dan ekstra kampus tanpa
menyepelekan nilai Indeks Komulatif Prestasi (IPK), sehingga dapat menjadi
tokoh dalam kampus, tokoh di daerah sekaligus dapat membanggakan kedua orang
tua dengan menghadiahkan toga saat acara seremonial wisudah.
Sepintas pandangan diatas
mungkin terkesan terstruktur dan terlalu baku untuk seorang aktivis, tapi ini
merupakan pandangan kritis untuk tradisi menyimpang bagi sebagian besar aktivis
daerah Sulsel dan menjadi bahan evaluasi untuk adik-adik yang sementara masih
tahap semester awal.
Belajar mengatur waktu
sebaik-baiknya dalam setiap aktivitas organisasi dan akademik menjadi syarat
utama sukses menjadi aktivis tauladan. Belajar memila dan memisahkan atara
kegiatan yang pokok dan kegiatan penunjang kesuksesan, melaksanakan kegiatan yang paling urgen dan
menunda kegiatan yang bisa ditunda serta sebisa mungkin menggunakan waktu
sebaik mungkin.
Maros, September 2013
Safaruddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar