SAFARUDDIN
“Sekarang martabat Negara tampak telah sunyi sepi, sebab rusak
pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan,
para cendikiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut arus dalam jaman bimbang,
bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya,kesensaraan dunia karena tergenang
berbagai halangan” (Ranggawarsita, 1802-1874)
Bahkan para cendikiawan
dan ahli, juga ikut terbawa arus perubahan struktur social yang timpang dan
hanyut meninggalkan corak cultural masyarakat lokal. Cendikia yang dulunya tampak berwibawa dengan pengetahuan dan
kebijaksanaannya bergeser dan ikut dalam pusaran kekuasaan resim.
Tidak keterlaluan jika
keluhan Ranggawarsita tersebut di atas kita hidupkan kembali dalam konteks saat
ini, masa dimana para elit dan cendikia sudah meninggalkan satu filsafat Bugis
yaitu sipakatau. Para elit nasional
saling tuding satu sama lain untuk memperebutkan bangunan singgasana yang
disebut kekuasaan, bahkan mereka saling menjatuhkan jika dianggap dapat
menghalangi dan mengancam kepentingan elit yang secara struktur lebih berkuasa.
Baru-baru ini
pemberitaan nasional menghidangkan tayangan kisru politik negeri yang
melibatkan lintas elit partai. Bermula saat terpilihnya Jokowi sebagai presiden
RI tahun 2014 lalu, lalu persitegangan terjadi antara presiden terpilih dengan
calon presiden Prabowo. Jokowi sujud syukur karena hitungannya yang menang,
Prabowo juga ikut sujud syukur karena percaya diri dimandat jadi 01 di
Indonesia dalam pemilu 2014 tersebut.
Selanjutnya dipihak legislative juga terjadi perang yang
kekanak-kanakan antara kualisi Indonesia hebat dengan kualisi merah putih.
Saat pihak kualisi merah putih terpilih jadi ketua DPR yaitu Setyo Novanto,
kualisi Indonesia hebat merespon geram dengan membentuk pimpinan DPR tandingan
yang juga telah melakukan rapar paripurna.
“Belum kering luka
lama, negeri ini kembali di todong dengan
luka baru”. Terakhir kita disuguhkan kenyataan pahit kondisi pemerintahan
Jokowi yang baru berusia jagung. Terjadi pertengkaran keras penegak hukum,
antara pihak Polri dengan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
berawal saat Budi Gunawan menjadi calon tunggal Kapolri, pada saat bersamaan
KPK menyatakan namanya sebagai status tersangka dalam suatu kasus.
Setelah BG ditetapkan
sebagai tersangka, giliran wakil ketua KPK dan ketua KPK Abraham Samad sebagai
tersangka pula dan sampai hari ini masih diproses oleh Kapolda Sulselbar.
Sketsa politik dan keamanan Negara yang kusut di atas menggambarkan prilaku elit Indonesia yang
jauh dari filsataf sipakatau,dan
dapat disimpulkan kalau zaman sekarang adalah zaman runtuhnya filsafat sipakatau.
Filsafat sipakatau merupakan prinsip yang
diwariskan nenek moyang suku bugis agar bisa saling menghargai, menyayangi dan
menghormati. Menghargai diperuntukkan pada orang yang lebih muda. Seorang yang
usianya lebih muda diharuskan menghargai yang lebih tua. Menyayangi sendiri
diperuntukkan pada orang dewasa. Seseorang yang usianya dipandang sudah dewasa
diharuskan orang bugis untuk menyayangi orang yang lebih muda. Sedangkan
prinsip menghormati ditujukan pada setiap orang yang punya peranan penting di
tengah masyarakat. Menghormati sesame elit dan menghormati seluruh rakyat yang
ada di sekitarnya. Jika ketiga prinsip di atas tidak dimiliki oleh para elit
dan masyarakat maka potensi terjadi ketimpangan social akan besar.
Prinsip “tidak ada
teman dan musuh abadi dalam politik, melainkan hanya ada kepentingan”
sepertinya betul-betul menjelma jadi prilaku ekstrim para elit Indonesia saat
ini.Tidak hanya para elit Negara yang
memperlihatkan sikap tidak sipakatau, tokoh
cendikiawan ternyata juga ikut terseret dalam pusaran kepentingan elit. Para
cendikiawan turut membagi diri untuk mendukung dan manambah kerumitan masalah
dalam negeri. Maka tidak keliru jika orang bijak mengatakan “Ulama (ahli)
adalah kepercayaan para rasul, dan bila
kau temukan mereka telah percaya pada penguasa maka curigailah akan ketakwaan
mereka.
Olehnya itu, jika
terjadi kesenjangan social di seluruh wilayah Indonesia seperti pemerkosaan,
pencurian, perampokan dan pembunuhan, kita tidak usah tercengang dan
terheran-heran atau mengutuk meela yang berperilaku amoral tersebut. Masyarakat
umum tidak lagi mengikuti filsafat sipakatau
sesama manusia karena mengambil contoh dari para pemimpin negeri ini. Sikap
dan perilaku masyarakat menjadi gambaran utuh dari sikap dan perilaku para
pemimpin sebuah bangsa.
Akhirnya Ranggawarsita
menambahkan keluhannya dengan ungkapan yang setidaknya memberi harapan besar
bagi negeri ini dalam edisi Paripurna yang ditulis oleh Kuntowijoyo tahun 2006
“mengalami jaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tidak tahan,
kalau tidak ikut gila tidak dapat bagian, akhirnya kelaparan, tetapi takdir
kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang
yang sadar dan waspada.
Maros 03 03 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar