Senin, 02 Maret 2015

RUNTUHNYA FILSAFAT SIPAKATAU ELIT INDONESIA


SAFARUDDIN

Sekarang martabat Negara tampak telah sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendikiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut arus dalam jaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya,kesensaraan dunia karena tergenang berbagai halangan” (Ranggawarsita, 1802-1874)

Kutipan diatas ditulis oleh Ranggawarsita, salah seorang sastrawan ulung era 60-an yang menyebut zamannya sebagai zaman edan. Kondisi pada zamannya terjadi ketimpangan social yang sifatnya maha luas mulai tataran pemerintahan elit nasional, pemerintahan elit daerah, elit pemerintahan kecamatan, desa bahkan berimbas pada perilaku masyarakat di seluruh wilayah.

Bahkan para cendikiawan dan ahli, juga ikut terbawa arus perubahan struktur social yang timpang dan hanyut meninggalkan corak cultural masyarakat lokal. Cendikia yang dulunya  tampak berwibawa dengan pengetahuan dan kebijaksanaannya bergeser dan ikut dalam pusaran kekuasaan resim.

Tidak keterlaluan jika keluhan Ranggawarsita tersebut di atas kita hidupkan kembali dalam konteks saat ini, masa dimana para elit dan cendikia sudah meninggalkan satu filsafat Bugis yaitu sipakatau. Para elit nasional saling tuding satu sama lain untuk memperebutkan bangunan singgasana yang disebut kekuasaan, bahkan mereka saling menjatuhkan jika dianggap dapat menghalangi dan mengancam kepentingan elit yang secara struktur lebih berkuasa.

Baru-baru ini pemberitaan nasional menghidangkan tayangan kisru politik negeri yang melibatkan lintas elit partai. Bermula saat terpilihnya Jokowi sebagai presiden RI tahun 2014 lalu, lalu persitegangan terjadi antara presiden terpilih dengan calon presiden Prabowo. Jokowi sujud syukur karena hitungannya yang menang, Prabowo juga ikut sujud syukur karena percaya diri dimandat jadi 01 di Indonesia dalam pemilu 2014 tersebut.  Selanjutnya dipihak legislative juga terjadi perang  yang kekanak-kanakan antara kualisi Indonesia hebat dengan kualisi merah putih. Saat pihak kualisi merah putih terpilih jadi ketua DPR yaitu Setyo Novanto, kualisi Indonesia hebat merespon geram dengan membentuk pimpinan DPR tandingan yang juga telah melakukan rapar paripurna.

“Belum kering luka lama, negeri ini kembali di todong dengan luka baru”. Terakhir kita disuguhkan kenyataan pahit kondisi pemerintahan Jokowi yang baru berusia jagung. Terjadi pertengkaran keras penegak hukum, antara pihak Polri dengan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berawal saat Budi Gunawan menjadi calon tunggal Kapolri, pada saat bersamaan KPK menyatakan namanya sebagai status tersangka dalam suatu kasus.

Setelah BG ditetapkan sebagai tersangka, giliran wakil ketua KPK dan ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka pula dan sampai hari ini masih diproses oleh Kapolda Sulselbar. Sketsa politik dan keamanan Negara yang kusut di atas  menggambarkan prilaku elit Indonesia yang jauh dari filsataf sipakatau,dan dapat disimpulkan kalau zaman sekarang adalah zaman runtuhnya filsafat sipakatau. 

Filsafat sipakatau merupakan prinsip yang diwariskan nenek moyang suku bugis agar bisa saling menghargai, menyayangi dan menghormati. Menghargai diperuntukkan pada orang yang lebih muda. Seorang yang usianya lebih muda diharuskan menghargai yang lebih tua. Menyayangi sendiri diperuntukkan pada orang dewasa. Seseorang yang usianya dipandang sudah dewasa diharuskan orang bugis untuk menyayangi orang yang lebih muda. Sedangkan prinsip menghormati ditujukan pada setiap orang yang punya peranan penting di tengah masyarakat. Menghormati sesame elit dan menghormati seluruh rakyat yang ada di sekitarnya. Jika ketiga prinsip di atas tidak dimiliki oleh para elit dan masyarakat maka potensi terjadi ketimpangan social akan besar. 

Prinsip “tidak ada teman dan musuh abadi dalam politik, melainkan hanya ada kepentingan” sepertinya betul-betul menjelma jadi prilaku ekstrim para elit Indonesia saat ini.Tidak hanya para elit  Negara yang memperlihatkan sikap tidak sipakatau, tokoh cendikiawan ternyata juga ikut terseret dalam pusaran kepentingan elit. Para cendikiawan turut membagi diri untuk mendukung dan manambah kerumitan masalah dalam negeri. Maka tidak keliru jika orang bijak mengatakan “Ulama (ahli) adalah kepercayaan para rasul,  dan bila kau temukan mereka telah percaya pada penguasa maka curigailah akan ketakwaan mereka.

Olehnya itu, jika terjadi kesenjangan social di seluruh wilayah Indonesia seperti pemerkosaan, pencurian, perampokan dan pembunuhan, kita tidak usah tercengang dan terheran-heran atau mengutuk meela yang berperilaku amoral tersebut. Masyarakat umum tidak lagi mengikuti filsafat sipakatau sesama manusia karena mengambil contoh dari para pemimpin negeri ini. Sikap dan perilaku masyarakat menjadi gambaran utuh dari sikap dan perilaku para pemimpin sebuah bangsa.

Akhirnya Ranggawarsita menambahkan keluhannya dengan ungkapan yang setidaknya memberi harapan besar bagi negeri ini dalam edisi Paripurna yang ditulis oleh Kuntowijoyo tahun 2006 “mengalami jaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut gila tidak dapat bagian, akhirnya kelaparan, tetapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang sadar dan waspada.


Maros 03 03 2015


 

Tidak ada komentar: