Rabu, 31 Agustus 2016

MENJADI KARYAWAN, ITU LONCATAN

Sebenarnya sudah tiga kali saya merencanakan tulisan ini ada di atas kertas putih. Tapi tiga kali pula tulisan ini harus menghendus-hendus di kepalaku. Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk memainkan tombol keyboard, kutulis semua yang ada di kepala. semuanya. Aku berniat menuntaskan tulisan ini, unek-unek yang betah dalam kegelisahanku beberapa hari terakhir. 

Saya menunda-nunda tulisan ini bukan karena tidak cukup kata dan kalimat untuk menuntaskannya, melainkan karena status saya. Profil saya saat ini bekerja di salah satu perusahaan. Yang berarti kolom pekerjaan yang ada di KTP saya tertuliskan sebagai karyawan swasta. 
Dengan status seperti di atas tadi, tulisan ini akan terkesan subjektif atau tidak bebas nilai. Minimal sulit meyakinkan pembaca bahwa tulisan ini tidak bermaksud mengajak mereka untuk bergabung menjadi manusia terpenjara, melainkan mengingatkan teman-teman karyawan bahwa tujuan terakhir kita bukan di situ tapi “leang kubur” Haaaaaaa. 

Oh iya, tentang subjektifitas tulisan, saya kira semua tulisan tidak sepenuhnya subjektif dan juga tidak seluruhnya objektif. Setiap tulisan yang dianggap objektif, memang melibatkan data atau fakta, tapi di sana kita juga kerap menemukan serakan asumsi-asumsi penulis, begitupun sebaliknya. 

Satu lagi, menurut hemat saya, tidak ada tulisan yang bebas nilai. Semua tulisan yang lahir dari rahim pemikiran seseorang, kerap diwarnai oleh lingkungan, pola pikir, ideologi, agama, bahkan jenis makanan yang ia konsumsi pada hari itu ikut terlibat menyelesaikan tulisannya.

Kembali ke laptop. Pernah suatu waktu teman saya Anust, sebut saja namanya begitu, ngomong ke saya kalau dirinya tidak bisa bekerja dalam satu perusahaan. Saya tanya, kenapa tidak bisa? Alasannya sederhana ; tidak mau terikat. Dirinya terbiasa hidup tanpa aturan yang ketat. Tidak ada atasan, tidak ada bawahan. Tidak ada pemandangan tembok yang membosankan, warna catnya yang itu itu saja, apa tidak bosan kalau begitu. Lalu saya Tanya lagi, di perusahaan mana kamu pernah bekerja?  Jawabannya ; belum pernah.

Wele wele, begini nih rasanya mendengar “dongen” betapa asyiknya dan betapa tenangnya perasaan tinggal di negeri Turki sana dari seorang informan yang tidak pernah sekali saja menginjakkan kaki di negeri yang baru-baru saja Sultannya menetapkan aturan kebebasan PNS nya menggunakan Hijab. Lah kalau begitu, selama ini pegawai negeri di sana tidak bebas pakai Jilbab yah. Sakitnya tuh di sini (tunjuk batok kepala anda).

Saya lanjut yah, rata-rata angkatan kerja Indonesia mendambakan menjadi karyawan. Kita coba buka data. Tolong yah jangan minta saya meng-copy link sumber datanya. Dari 127,67 juta orang angkatan kerja, lebih delapan puluh persen memilih jadi karyawan swasta. Sembilan belas koma sekian persen berserakan di mana-mana, diantaranya pengusaha, politikus, petani bahkan penulis mungkin terselip juga di sini.

Lalu kenapa segitu banyaknya berminat jadi karyawan swasta? Jawabannya sederhana. Jumlah penduduk miskin yang mencapai 11,13 % dari keseluruhan penduduk Indonesia pada tahun 2015 berkurang menjadi 10,86% tahun 2016, bisa jadi hanya asumsi atau kesimpulan BPS yang subjektif. Mungkin tidak benar yah. Wah itu tidak mungkin, kan selama ini Badan Pusat Statistik tersebut bekerja berdasarkan angka-angka. Angka yang diperoleh dari sensus yang dilakukan langsung ke masyarakat. Kalau begitu lupakan saja. Saya hanya bermaksud mengabarkan bahwa peminat karyawan swasta itu kebanyakan kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Lalu kenapa menjadi karyawan swasta? Bisa jadi, dengan menjadi karyawan, seseorang akan mengumpulkan modal untuk membuka usaha sendiri. Atau bisa jadi, dengan menjadi pelayan perusahaan, sekaligus menjalankan bisnis. Menjadi karyawan sambil berusaha jadi penulis atau politikus juga bisa. 

Kenapa begitu? Menjadi pengusaha hanya modal dengkul doang itu mitos. Saya ulangi, menjadi pengusaha hanya modal dengkul doang itu mitos. Apalagi menjadi politikus tanpa duit. Oh sulitnya minta ampun. Terlebih jadi penulis, bagaimana mungkin tulisan bisa “clear” kalau perut keroncongan setiap harinya. Satu contoh lagi, bagaiamana bisa menjadi aktivis yang idealis, memperjuangkan nasib rakyat banyak kalau masih disuapi. Ribet masalahanya.

Di pargraf terakhir ini saya ingin memberi informasi “lebay” kepada tema-teman karyawan. Bahwa tujuan hidup kita masih panjang, masih jauh sejauh kuburan kita. Terlalu rendah cita-cita kalau hanya ingin jadi karyawan dalam sebuah perusahaan. Kita terlalu istimewa jika selama 36 tahun usia yang kita miliki sepenuhnya dihibahkan ke perusahaan. Untuk itu, menjadikan status ini sebagai batu loncatan untuk hal-hal yang lebih “serius” adalah kemungkinan yang tidak mustahil.

Maros, 01 September 2016