Aku terlahir dari
keluarga yang cukup berkecukupan, dengan latar belakang keluarga yang
berpendidikan tinggi, aku dan ayahku sangat dihormati di kampung. Ayah bekerja
di salah satu perusahaan swasta yang berdiri di kampung sejak tahun 1991,
sebagai karyawan senior diperusahaan tersebut ayah memperoleh gaji dan
tunjangan yang cukup besar, meskipun aku tidak pernah diberi tahu olehnya
secara langsung tapi aku tahu dari caranya memenuhi kebutuhan keluarga kami di
rumah setiap hari.
Aku anak ketiga dari
empat bersaudara, kakak tertuaku kini bekerja di perusahaan tempat ayah
bekerja, meski dia jadi saudaraku paling nakal tapi keberuntungan tidak
mengenal sikap dan perilaku seseorang, siapapun orangnya jika sudah terpilih
menjadi orang beruntung pasti akan beruntung pula. Dia masuk bekerja hanya
bermodalkan ijazah SMA yang diperolehnya dari ujian persamaan tahun lalu dan
dengan keberuntungan itu dia sering berkata kepadaku seperti ini:
“kamu jangan terlalu
penurut sama orang tua, lihat kakakmu ini, meski nakal tapi toh bisa bekerja di
perusahaan ternama di kampung”
Sedangkan kakakku yang kedua melanjutkan
studinya di salah satu Universitas Negeri di
Makassar. Meskipun dia seorang perempuan tapi semangatnya melebihi
seorang laki-laki. Baginya, pendidikan harga mati buat generasi muda.
“Hanya satu cara
untuk mempertahankan dan melanjutkan nama baik keluarga kita, yaitu memiliki
pendidikan yang tinggi, tanpa pendidikan yang tinggi, kita dan keluarga akan
digilas oleh zaman”. Ucapnya suatu kali kepadaku.
Sejak kecil aku selalu mengagumi kakakku yang
satu ini, dia menjadi idolaku paling popular saat teman-teman mengidolakan
artis hollywod dari India, dia juga menjadi guruku paling berjasa
saat teman-teman memilih om geogle sebagai guru sejati mereka.
Lain manusia, lain
pula karakternya. Meskipun kami berempat saudara kandung dan dibesarkan dalam
lingkungan yang sama tapi kami memiliki karakter yang berbeda-beda. Kakak
pertamaku punya karakter yang apatis dengan lingkungan luarnya, baginya hidup
adalah antara dirinya dan kepentingannya meskipun begitu dia bukan tipikal
orang yang suka banyak bicara saat menolak perintah orang tua. Diam dan
menyendiri adalah pilihannya saat tidak suka atau tidak mau melakukan perintah
ayah dan ibu. Kakak keduaku punya karakter yang lembut tapi keras pendirian,
mungkin ini sudah jadi karakter umum perempuan. Sikap kesehariannya sangat tenang
dan lembut tapi jika punya keinginan yang tidak diturutkan, dia bisa ngambek sampai tiga hari.
Berbeda dengan kedua
saudaraku, aku sendiri punya pribadi yang keras dan kasar. Semua orang yang
melihatku pasti memberi penilaian yang sama yaitu mudah emosi dan keras dalam
menjalani hidup. Meski mudah emosi, aku tipikal orang yang penyayang dan mudah
menyesali perbuatan jelek yang aku lakukan saat marah.
Tinggal dalam rumah panggung bersama semua
saudara dan kedua orang tua seperti hidup dalam sebuah film yang sudah diatur
sedemikian rupa oleh sutradara, awal ceritanya adalah kebahagian dan akhirnya
juga adalah kebahagiaan. Kebahagiaan ini disempurnakan oleh seorang ibu yang
punya rasa kasih sayang yang tidak terbayarkan, andai saja seluruh tanah yang ada
dikampung ini saya miliki, kemudian saya hadiahkan kepada ibu, itu belum bisa
membayar besarnya kasih sayang yang dia berikan kepada anak-anaknya.
Seperti biasanya
ayah selalu berangkat kerja pukul 07:30 Wita setelah sarapan bersama ibu dan
anak-anaknya, seingat aku keluarga kami tidak pernah sarapan pagi
sendiri-sendiri. Sarapan sudah menjadi ritual pagi untuk bertatap muka dan
menyegarkan wajah dengan canda dan tawa. Kali ini tawa dan canda yang diberikan
ayah kepada kami berbeda dari hari-hari sebelumnya, setiap canda yang dilakukan
diselipkan pesan yang sangat bijaksana.
“pagi ini sangat
indah, seperti keindahan senyum yang selalu ditebarkan ibumu kepada kita semua.
Tahukah kalian semua, semenjak ayah bertemu dengan ibumu, ayah selalu jatuh
cinta dengan senyumnya, tentu ayah berharap senyum indah itu selalu ada buat
kalian sebagai lambang cintanya kepada kalian” pesan ayah pada pagi itu kepada
kami semua.
Ibu yang masih sibuk
melayani kami seperti pelayan restoran di kota Daeng tersipu malu mendengar ucapan
ayah, ibu seperti tidak merasakan keanehan sikap ayah pagi hari ini, mungkin
karena perhatiannya teralihkan pada pelayanan super yang dilakukannya. Bagi ibu
suami dan anak-anaknya adalah pelanggan baginya dan pelanggan adalah raja yang
harus dipuaskan di atas meja.
Sebelum berangkat
kerja, ayah memanggilku secara khusus masuk di kamarnya. Untuk pertama kalinya
semenjak kami pisah ranjang, karena adat dalam kampung kami seorang anak
laki-laki yang sudah usia baligh harus pisah ranjang dengan kedua orang tuanya.
Aku masuk dalam
kamar ayah dengan perasaan penuh tanda tanya, apakah ini ada kaitannya dengan
keanehan ayah di meja makan?. Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku.
“Nak, jadi orang itu
harus bisa bermanfaat bagi keluarga, Negara dan agama. Jangan jadi sampah bagi
keluarga apalagi bagi masyarakat, kelak kamu harus jadi pemimpin yang
bijaksana. Ingat, ingat ini, jika nanti kamu jadi orang, senyum ibumu harus
selalu kamu jaga, jangan sampai senyum itu berubah jadi tangis penyesalan melahirkan
dirimu”. Pesan ayah sambil memegangi pundakku.
Aku hanya bisa diam
dan tercengang, kebingunganku semakin menjadi-jadi dengan pesan dan amanahnya
untukku.
“iya ayah, aku akan
jadi anak yang dibanggakan ayah dan ibu. Akan aku jaga senyum manis yang sudah
jadi bagian dari wajah ibuku itu”. Jawabku meragu.
Ayah keluar dari
kamar dan tidak menengok padaku lagi, aku seperti seorang laki-laki yang baru
saja diputuskan pacar dan dihadiahkan pesan untuk memilih pacar yang lebih baik
darinya.
Aku mengikuti dan melihat ayah mengecup ubun-ubun ibu seperti
biasanya, tapi kecupan yang diberikan ayah kepada ibu pagi ini sungguh sangat romantis,
seperti sepasang kekasih yang berada di stasiun kereta api sedang melepas
kekasihnya merantau dengan waktu yang lama.
Dengan menggunakan motor
bebek yang sudah dipakainya semenjak pernikahannya dengan ibu, ayah melaju ke
kantor. Ayah bangga dengan kendaraan bersejarahnya tersebut, motor itu dia beri
nama labolong karena uang yang dipake untuk membeli motor antic tersebut
diperoleh dari hasil penjualan sapi jantan berkulit hitam pekat sebanyak tiga
ekor. Sehingga nama labolong dilekatkan ayah pada motornya untuk
mengenang sapi peliharaannya bersama nenek.
Pukul 10:22 WITA handpone
ibu berdering di kamar dan akulah orang pertama yang mendengarnya, tanpa
menunggu disuruh ibu untuk mengambilkan untuknya yang sibuk di kebun belakang
rumah, aku berlari ke kamar untuk mengangkatnya dan keanehan-keanehan ayah yang
selalu membayangiku pagi itu.
“halo, dengan siapa
ini?”. Jawabku setelah mendengar salam dari penelpon
“halo, kok salam
tidak dijawab nak?”. Jawab penelpon itu.
“oh iya, Waalaikum
salam, dengan siapa ini?”. Tanyaku serius.
“ini dengan tante
nak di Makassar”.
P.r.e.a.c.k, handpone
di tanganku terlepas dan terjatuh, aku buru-buru memungut casing,baterai
dan kartu yang terpisah dari badan handpone ibu. Meski tidak dimarahi
ibu, tapi pasti ibu akan menceramahi aku lagi jika tahu handponenya
jatuh, apalagi jika dia tahu tanteku dari Makassar yang menelpon.
Aku tidak butuh
waktu lama untuk menyulap kembali Hp pada kondisi sebelumnya, dengan pengalaman
yang aku peroleh dari jaga counter Hp di Makassar saat libur panjang, aku tidak
kesulitan memasang casing dan kartu yang terlepas. Setelah aku nyalakan, Hp ibu
aku simpan di tempatnya yang semula dan beranjak keluar, belum sampai di teras
rumah, Hp ibu kembali berdering, kali ini aku tidak merasa khawatir, aku
langsung mengangkat Hp.
“maaf tante, tadi Hp
terjatuh jadi langsung mati”
“apa betul ini
dengan keluarga pak Syarif?”. Tanya penelpon.
“oh iya pak, maaf
pak saya kira tanteku, dengan siapa ini ?”.
Jawabku cepat.
“mana ibumu nak, ini
dari kantor tempat bapakmu kerja?”
“ibu ada di belakang
rumah”.
“oh iya, boleh saya
bicara sama ibumu nak?”
“bicara saja sama aku
pak, nanti aku sampaikan sama ibu”. Jawabku
“tidak nak, ini
sangat penting, dan aku harus bicara
dengan ibumu”.
Pikiranku sudah bisa
menebak berita apa yang ingin disampaikan orang itu kepada ibu, tapi aku
berusaha untuk meyakinkan diriku kalau pikiran negative itu adalah saudara
kembarku sejak kecil. Dari dulu aku punya kebiasaan buruk dalam bergaul, aku
suka berpikiran negative kepada orang lain saat bicara berdua, meski aku tahu
berfikir negative pada orang lain sama saja menciptakan jurang pemisah antara
manusia satu dengan manusia yang lain. Berfikir negative tidak pernah berdampak
baik pada seseorang, sebaliknya hanya memenjarakan hati dan fikiran dalam
keangkuhan dan kesombongan.
Untuk menghargai
rekan kerja ayah, segera aku panggil ibu dan menyerahkan Hp padanya.
Perhatianku hanya tertuju padanya dan apa yang aku fikirkan akhirnya terjadi,
Hp terlepas di tangan ibu dan terjatuh ke lantai kemudian tubuh ibu lemah, kaki
yang kuat itu tidak mampu menopang tubuhnya yang kurus. Ibu terjatuh dan aku
berlari untuk memapahnya masuk ke kamar ayah.
Aku tidak bertanya
lagi kepada ibu tentang kabar yang disampaikan penelpon padanya, aku sudah bisa
pastikan kabar itu adalah kabar
meninggalnya. Entah bagaimana kejadiannya, aku dan ibu tidak tahu dan tidak perlu
tahu, bagi kami masing-massing manusia telah dipilihkan cara untuk menghadapNya.
*********************
Sepeninggal ayah
dalam kecelakaan kerja di tempat kerjanya, meninggalkan banyak kesedihan dan
perubahan. Adikku yang dulu selalu ceria berangkat sekolah kini lebih banyak
diam dan melamun, bahkan kadang-kadang tidak mau berangkat sekolah. Dia yang
selalu menunggu kepulangan ayah dari kerja di pintu gerbang rumah, kini hanya
tinggal di kamar menyendiri dan kadang-kadang menangis histeris.
Kakak keduaku juga
sudah jarang bermalam di rumah, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar
rumah bersama teman-teman sebayanya. Kenakalan yang dulu ditahannya karena rasa
hormat pada ayah kini dilampiaskan semua. Sikapnya kali ini seperti bermaksud
menghukum nasib yang merengguk orang yang paling dia banggakan.
Sedangkan kakak
pertamaku tetap seperti biasanya, sibuk bersama aktivitas kampusnya. Sebagai
orang yang paling tua diantara empat bersaudara, dia yang paling dewasa dalam
menerima kenyataan ini, bahkan dia banyak menghibur adik-adiknya disaat masa
senggannya, termasuk menghiburku.
Sedangkan aku
sendiri yang masih duduk dibangku sekolah lebih banyak menemani ibu di belakang
rumah. Ibu yang dulu banyak tersenyum melakukan aktivitas rumah tangganya, kini
berubah 180 derajat. Hari-harinya lebih banyak terdiam dan merenung,
dalam wajahnya tergambar betapa dia tidak ikhlas melepas kepergian orang yang
sangat dia cintai secara tiba-tiba itu. Senyum manis yang selalu menjadi nafas
bagi semangat kerja ayahku hilang seketika dan akhirnya aku gagal menjaga
senyum yang diwasiatkan ayah padaku.
Awalnya aku kira
wajah murung dan kesedihan ibu hanya dialaminya beberapa hari, tapi ternyata
kesedihan itu berlarut-larut sampai dua minggu. Bukan hanya itu, sejak ayah meninggal
aku tidak pernah melihat ibu makan dan minum dan akhirnya dia sakit.
Aku dan saudaraku
bermaksud membawa ibu ke rumah sakit Salewangeng untuk dirawat tapi beliau
tidak mau, alasannya dia tidak kenapa-napa, dia hanya minta untuk dirawat oleh
anak-anaknya di rumah sendiri. Tinggallah aku, adikku dan kakak pertamaku
merawat ibu sedangkan kakakku yang kedua belum pernah pulang ke rumah.
Hanya tiga hari ibu
sakit di rumah, dan akhirnya ajal juga menjemput beliau menghadap kepadaNya.
Sejak saat itu hatiku seperti disayat-sayat dengan belati tajam. Surgaku telah
direnggut oleh nasib secara sepihak tanpa konfromi, singgasana yang dibangun
oleh kedua orang tuaku dirobohkan sekejap mata.
Maros, 24 Juli 2015
SAFARUDDIN