Kebijakan pemerintah pusat
memberikan wewanan otonom ke pemerintah desa dalam mengelola dana desa baik
APBN maupun APBD merupakan salah satu bukti maksud baik pemerintah dalam membangun
Negara dari akar rumput, yaitu desa.
Agar kebijakan otonomi desa
ini tidak menjadi malapetaka atau jebakan bagi pemerintah desa yang bisa
mencobloskan kepala desa beserta perangkatnya ke jeruji besi, akhir-akhir ini
pemerintah dalam hal ini Kementrian Desa giat menyelenggaran pelatihan dan
worshop yang sifatnya tehnis guna meningkatkan sumber daya aparat desa terutama
kepala desa.
Selain itu, dalam rangka
mengimplementasikan UU Nomor 16 tahun 2014 Tentang Desa, Kementrian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melakukan rekrutmen pendamping desa.
Targetnya, seluruh desa se-Indonesia akan didampingi oleh pendamping dengan
formasi masing-masing pendamping lokal mendampingi 4 desa sejak tahun 2015.
Menurut Direktur Jendral
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Kemendes PDTT, Achmad
Erani Yustika, Pendamping Desa bertugas membantu dan memantau realisasi
anggaran desa sebanyak Rp. 16,5 triliun untuk tahun 2015.
Dengan adanya Pendamping di
masing-masing desa, tentu ada harapan besar untuk membangun desa di seluruh
Indonesia. Terkhusus dalam pengelolaan dan penganggaran Dana Anggaran Desa yang
sesuai dengan dokumen perencanaan yang dimiliki oleh desa yang bersangkutan, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa (RPJDES) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDES).
Dalam kurung waktu Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) ke depan, desa diharapkan mampu mengelola
anggaran Negara secara mandiri dan akuntabilitas. Melalui pendamping desa,
pemerintah desa diharapkan dapat memperoleh pengetahuan tehnis dalam mengelola
anggaran desa sesuai perudang-undangan.
Selain harapan-harapan
tersebut di atas, tentu kita tidak boleh menutup mata akan adanya
kelemahan-kelemahan otonomi desa yang diamanatkan UU Desa, terutama dalam perekrutan
pendamping desa. Pasalnya, SDM pemerintah desa tidak mumpuni untuk mengelola
keuangan desa sehingga pemerintah membutuhkan biaya yang sangat besar untuk
memberikan pelatihan untuk meningkatkan SDM ke 74 ribu pemerintah desa di
seluruh Indonesia.
Selain itu, mekanisme
perekrutan Pendamping Desa sangat sarat akan kepentingan politik para elit
seperti partai politik, ORMAS dan LSM, sehingga ada indikasi hasil seleksi yang
dilakukan tim seleksi provinsi tidak berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh calon
pendamping, melainkan berdasarkan rekomendasi elit.
Lalu pendamping yang
diperoleh dari hasil seleksi berdasarkan rekomendasi “meskipun tidak semuanya”
harus memperoleh pelatihan untuk memiliki pengetahuan tentang perencanaan dan
penganggaran desa. Ini berarti, pemerintah harus menyiapkan biaya yang besar
untuk melatih ribuan pendamping Desa.
Pasalnya, pendamping harus
memiliki kapasitas yang jauh lebih tinggi dibanding pemerintah desa agar
pendamping tersebut datang ke Desa bukan untuk belajar --- sekali lagi,
pendamping desa tidak boleh datang ke desa untuk belajar tapi untuk mendampingi
desa dalam pengelolaan dana desa.
Pendamping desa sebagai
“orang luar” atau orang yang tiba-tiba datang ke desa bermodalkan Surat
Keputusan (SK) dari Pemerintah meminjam istilah Robert Chambers dalam buku yang ditulis berjudul Pembangunan Desa
diharuskan memiliki pengetahuan lebih, agar dapat betul-betul mendampingi desa
sebagaimana fungsinya.
Dapat dibayangkan, bagaimana
jadinya seorang pendamping desa yang tidak punya basic tentang desa, tidak
pernah bergelut dengan lembaga pemberdayaan desa dan masyarakat miskin, datang
ke desa “sok” mendampingi dan memantau pemerintah desa. Mereka hanya datang
belajar dan jadi bahan “cibiran” pemerintah dan masyarakat desa.
Adapun modal pengetahuan
yang diperoleh dari hasil pendidikan singkat tiga sampai sepuluh hari dapat
dipastikan tidak cukup untuk mendampingi dan memantau desa. Jangankan
mendampingi, untuk menyamai pengetahuan tehnis aparat desa pun mungkin tidak cukup.
Namun bukan berarti, semua
pendamping desa tidak berkapasitas, atau hasil rekomendasi dari partai politik,
ORMAS dan LSM. Ada banyak pula pendamping desa yang betul-betul memiliki
pengetahuan tentang perencanaan dan penganggaran Desa. Di pundak mereka lah ada
harapan untuk membangun desa dari Negara, dari tangan mereka pengelolaan dana
desa bisa sesuai perundang-undangan yang ada.
Selain itu, pendamping desa
yang diperoleh dari rekomendasi kelompok berkepentingan tersebut di atas
diharapkan terus belajar. Jangan hanya menunggu jadwal pelatihan di hotel
berbintang. Lagi pula bicara tentang desa, tidak “elok” dibicarakan di tempat
mewah tersebut. Jangan hanya mengejar laporan pertanggungjawaban untuk
mencairkan insentif bulanan dari pemerintah.
Jadi lah sebenar-benarnya
pendamping desa, pendamping yang berorentasi pada pembangunan SDM dan tata
kelola keuangan desa. Berniat lah untuk memberikan output kemandirian kepada
desa setelah kontrak pendampingan selesai.
Maros, 17 November 2015
SAFARUDDIN