Selasa, 17 November 2015

PENDAMPING DESA, HARAPAN DAN KEKHAWATIRAN

Kebijakan pemerintah pusat memberikan wewanan otonom ke pemerintah desa dalam mengelola dana desa baik APBN maupun APBD merupakan salah satu bukti maksud baik pemerintah dalam membangun Negara dari akar rumput, yaitu desa.

Agar kebijakan otonomi desa ini tidak menjadi malapetaka atau jebakan bagi pemerintah desa yang bisa mencobloskan kepala desa beserta perangkatnya ke jeruji besi, akhir-akhir ini pemerintah dalam hal ini Kementrian Desa giat menyelenggaran pelatihan dan worshop yang sifatnya tehnis guna meningkatkan sumber daya aparat desa terutama kepala desa.

Selain itu, dalam rangka mengimplementasikan UU Nomor 16 tahun 2014 Tentang Desa, Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melakukan rekrutmen pendamping desa. Targetnya, seluruh desa se-Indonesia akan didampingi oleh pendamping dengan formasi masing-masing pendamping lokal mendampingi 4 desa sejak tahun 2015.

Menurut Direktur Jendral Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Kemendes PDTT, Achmad Erani Yustika, Pendamping Desa bertugas membantu dan memantau realisasi anggaran desa sebanyak Rp. 16,5 triliun untuk tahun 2015.

Dengan adanya Pendamping di masing-masing desa, tentu ada harapan besar untuk membangun desa di seluruh Indonesia. Terkhusus dalam pengelolaan dan penganggaran Dana Anggaran Desa yang sesuai dengan dokumen perencanaan yang dimiliki oleh desa yang bersangkutan,  seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJDES) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDES).

Dalam kurung waktu Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) ke depan, desa diharapkan mampu mengelola anggaran Negara secara mandiri dan akuntabilitas. Melalui pendamping desa, pemerintah desa diharapkan dapat memperoleh pengetahuan tehnis dalam mengelola anggaran desa sesuai perudang-undangan.

Selain harapan-harapan tersebut di atas, tentu kita tidak boleh menutup mata akan adanya kelemahan-kelemahan otonomi desa yang diamanatkan UU Desa, terutama dalam perekrutan pendamping desa. Pasalnya, SDM pemerintah desa tidak mumpuni untuk mengelola keuangan desa sehingga pemerintah membutuhkan biaya yang sangat besar untuk memberikan pelatihan untuk meningkatkan SDM ke 74 ribu pemerintah desa di seluruh Indonesia.

Selain itu, mekanisme perekrutan Pendamping Desa sangat sarat akan kepentingan politik para elit seperti partai politik, ORMAS dan LSM, sehingga ada indikasi hasil seleksi yang dilakukan tim seleksi provinsi tidak berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh calon pendamping, melainkan berdasarkan rekomendasi elit.

Lalu pendamping yang diperoleh dari hasil seleksi berdasarkan rekomendasi “meskipun tidak semuanya” harus memperoleh pelatihan untuk memiliki pengetahuan tentang perencanaan dan penganggaran desa. Ini berarti, pemerintah harus menyiapkan biaya yang besar untuk melatih ribuan pendamping Desa.

Pasalnya, pendamping harus memiliki kapasitas yang jauh lebih tinggi dibanding pemerintah desa agar pendamping tersebut datang ke Desa bukan untuk belajar --- sekali lagi, pendamping desa tidak boleh datang ke desa untuk belajar tapi untuk mendampingi desa dalam pengelolaan dana desa.

Pendamping desa sebagai “orang luar” atau orang yang tiba-tiba datang ke desa bermodalkan Surat Keputusan (SK) dari Pemerintah meminjam istilah Robert Chambers dalam buku yang ditulis berjudul Pembangunan Desa diharuskan memiliki pengetahuan lebih, agar dapat betul-betul mendampingi desa sebagaimana fungsinya.

Dapat dibayangkan, bagaimana jadinya seorang pendamping desa yang tidak punya basic tentang desa, tidak pernah bergelut dengan lembaga pemberdayaan desa dan masyarakat miskin, datang ke desa “sok” mendampingi dan memantau pemerintah desa. Mereka hanya datang belajar dan jadi bahan “cibiran” pemerintah dan masyarakat desa. 

Adapun modal pengetahuan yang diperoleh dari hasil pendidikan singkat tiga sampai sepuluh hari dapat dipastikan tidak cukup untuk mendampingi dan memantau desa. Jangankan mendampingi, untuk menyamai pengetahuan tehnis aparat desa pun mungkin tidak cukup.

Namun bukan berarti, semua pendamping desa tidak berkapasitas, atau hasil rekomendasi dari partai politik, ORMAS dan LSM. Ada banyak pula pendamping desa yang betul-betul memiliki pengetahuan tentang perencanaan dan penganggaran Desa. Di pundak mereka lah ada harapan untuk membangun desa dari Negara, dari tangan mereka pengelolaan dana desa bisa sesuai perundang-undangan yang ada.

Selain itu, pendamping desa yang diperoleh dari rekomendasi kelompok berkepentingan tersebut di atas diharapkan terus belajar. Jangan hanya menunggu jadwal pelatihan di hotel berbintang. Lagi pula bicara tentang desa, tidak “elok” dibicarakan di tempat mewah tersebut. Jangan hanya mengejar laporan pertanggungjawaban untuk mencairkan insentif bulanan dari pemerintah.

Jadi lah sebenar-benarnya pendamping desa, pendamping yang berorentasi pada pembangunan SDM dan tata kelola keuangan desa. Berniat lah untuk memberikan output kemandirian kepada desa setelah kontrak pendampingan selesai.


Maros, 17 November 2015


SAFARUDDIN